Keadilan sarang laba-laba hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap...
Sebarkan benih keadilan di tanah gersang, sirami dengan air ketulusan dari samudra atlantik...

Minggu, 27 Februari 2011

Aliran-Aliran Filsafat

  Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum.
Aliran-aliran filsafat hukum meliputi : Aliran Hukum Alam; Positivisme Hukum; Utilitarianisme; Mahzab Sejarah; Sociological Jurisprudence; Realisme Hukum dan Freirechtslehre. Tata urutan aliran filsafat hukum tersebut didasarkan kepada sistematika pemikiran dari masing-masing aliran, yang dalam suatu situasi sesuai dengan tata urutan kronologis, namun di sisi lain juga tidak lagi sesuai.

  1. Aliran Hukum Alam
Aliran Hukum Alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu, dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran. Dilihat dari sejarahnya, menurut Friedmenn (1990:47), aliran ini timbul karena kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum alam disini dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia (soekanto, 1985: 5-6).
Secara sederhana, menurut sumbernya, Aliran Hukum Alam dapat dibedakan dalam dua macam : Irasional dan Rasional. Aliran Hukum Alam yang irasional berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Sebaliknya, Aliran Hukum Alam yang rasional berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia. Pandangan yang muncul setelah zaman Renesanse (era ketika rasio manusia dipandang terlepas dari tertib ketuhanan) berpendapat bahwa hukum alam tersebut muncul dari pikiran manusia sendiri tentang apa yang baik dan buruk, yang penilaiannya diserahkan kepada kesusilaan (moral) alam.
Pendukung Aliran Hukum yang irasional antara lain adalah    Tokoh-tokoh Aliran Hukum Alam yang rasional antara lain : Hogo de Groot (Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Khan, dan Samuel von Pufendorf.
Menurut Friedmann (1990:47), hukum alam ini memiliki fungsi jamak, 1) yakni : sebagai instrument utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi ke suatu system yang luas dan cosmopolitan. 2) Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara gereja pada Abad Pertengahan dan para kaisar Jerman; 3) Sebagai latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum intrenasional, dan menuntut kebebasan individu terhadap absolutism; dan 4) Prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para Hakim Amerika (yang berhak untuk menafsirkan Konstitusi) guna menentang usaha-usaha perundang-undangan Negara untuk memodifikasi dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi.

  1. Hukum Alam Irasional

Beberapa pendukung Aliran Hukum Alam Irasional yang akan diuraikan padangan-pandangannya adalah Thomas Aquinas, John Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, William Occam, John Wycliffe dan Johannes Huss.

Thomas Aquinas
            Filsafat Thomas Aquinas berkaitan erat dengan teologi. Ia mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya, ada pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itulah diperlukan iman. Sekalipun akal manusia tidak dapat memecahkan misteri, ia dapat meratakan jalan menuju pemahaman terhadapnya. Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu : 1) pengetahuan alamiah (berpangkal pada akal), dan 2) pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu ilahi). Perbedaan tersebut juga digunakan oleh Aquinas dalam menjelaskan perbedaan anatar filsafat dan teologia.
            Berbicara tentang hukum, Aquinas mendefinisikan sebagai kententuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat. Lengkapnya, dalam tulisannya Treatise on Law, Aquanis mengatakan :, “Law is nothing else than an ordinance of reason for the common good, promulgated by him who has the care of the community” (Lyons, 1983 : 7).
            Mengenai pembagian hukum, Friedmann (1990:62) menggambarkan pemikiran Aquinas dengan menyatakan :
Sejak dunia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan, seluruh masyarakat di alam semesta diatur oleh akal yang berasal dari Tuhan. Hukum Tuhan berada diatas segala-galanya. Sekapiun deikian, tidak seluruh hukum Tuhan dapat diperoleh oleh manusia, dan diungkapkan melalui hukum abadi sebagai penjelmaan kearifan Tuhan, yang mengatur semua tindakan dan pergerakan. Hukum alam adalah bagian dari hukum Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam pikiran alam. Manusia, sebagai makhluk yang berakal, menerapkan bagian dari hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, sehingga ia dapat membedakan yang baik dan buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam, yang merupakan sumber dari sumber hukum manusia. Tetapi Thomas Aquinas menetapkan kategori ke-empat, yang rupa-rupa berada dalam hubungan yang sama dengan hukum manusia, seperti hubungan antara hukum abadi dan hukum alam. Ini disebutnya ex divina, hukum positif yang ditetapkan oleh Tuhan di dalam injil untuk seluruh umat manusia. Seluruh hukum yang ditetapkan oleh kekuasaan manusia, yakni hukum positif, harus berada dalam batas-batas ini. Dalam hierarki nilai-nilai hukum, mungkin lex divina tidak dapat dikategorikan. Tetapi lex divina itu bertugas mengokohkan kedudukan gereja sebagai penafsir otentik hukum Tuhan sebagaimana dicantumkan dalam Injil. Mungkin orang mau mengatakan, bahwa lex divina adalah penjelasan dari akal budi Tuhan yang tertulis, dna hukum alam yang tidak tertulis. Adapun yang paling rendah menjadi hukum positif, yang berlaku hanya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum alam, dan tentu saja dengan hukum abadi. Hukum manusia merupakan bagian dan bidang kecil dari kekuasaan Tuhan; tidak ada pemisahan antara kepercayaan dan akal; sebaliknya, akal adalah bagian dari manifestasi kepercayaan.

Terdapat empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu : 1) lex aeterna (hukum rasio Tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia); 2) lex divina (hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia); 3) lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam rasio manusia); 4) lex posotivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia).
            Di antara banyak karya tulisnya, tulisan paling masyhur dari Thomas Aquinas berjudul Summa Theologiae. Karya lainnya adalah De Ente et Essentia dan Summa Contra Gentiles.

John Salisbury (1115-1180)
            Salisbury adalah rohaniawan pada Abad Pertengahan. Ia banyak mengkritik kesewenang-wenangan penguasa waktu itu. Menurutnya, Gereja dan Negara perlu bekerja sama ibarat hubungan organis antara jiwa dan raga.
            Dalam menjalankan pemerintahnnya, penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum-hukum Allah. Tugas rohaniawan adalah membimbing penguasa agar tidak mengurangikan kepentingan rakyat, dan menurutnya, bahkan penguasa itu seharusnya menjadi abdi Gereja.
            Menurut Salisbury, jikalau masing-masing penduduk bekerja untuk kepentingannya sendiri, kepentingan masyarakat akan terpelihara dengans ebaik-baiknya (Schmid, 1965:91). Salibury juga melukiskan kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua unsure; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.
Pemikiran Salisbury dituangkan dalam satu kumpulan buku (delapan) yang diberi judul Policraticus sive de Nubis Curialtum et Vestigiis Philosophorum Libri VIII. Selain itu, terdapat bukunya yang berjudul Metalogicus.

Dante Alighieri (1265-1321)
            Seperti halnya dengan filsuf-filsuf Abad Pertengahan, filsafat Dante sebagian besar merupakan tanggapan terhadap situasi yang kacau balau pada masa itu. Baik Jerman maupun Prancis pada Abad Pertengahan menghadapi perselisihan dengan kekuasaan Paus di Roma. Dante, dalam hal ini berada pada  kubu penguasa. Ia amat menentang penyerahan kekuasaan duniawi kepada Gereja. Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja berupa pemerintahan yang absolut.
            Dante berusaha memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarki yang bersifat mondial. Monoarki dunia inilah yang menjadi badan tertinggi yang memutuskan perselisihan antara penguasa yang satu dengan yang lainnya. Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum Tuhan. Menurutnya, badan tertinggi yang memperboleh legitimasi dari Tuhan sebagai monarki dunia ini adalah Kekaisaran Romawi. Hanya saja, pada abad Pertengahan ternyata Kekaisaran Romawi itu sudah digantikan oleh kukuasaan Jerman dan kemudian oleh Perancis, di Eropa.
Karangan Dante yang terpenting berjudul De Monarchia.

Piere Dubois (lahir 1255)
Dubois adalah salah satu filsuf terkemuka Prancis. Kedudukannya sebagai pengacara raja Prancis pada masa itu selaras dengan pandangan-pandangannya yang pro penguasa. Ia mencita-citakan suatu Kerajaan Perancis yang maha luas, yang menjadi pemerintah tunggal dunia. Di sini tampak, bahwa Dubois sangat menyakini adanya hukum dapat berlaku universal.
            Sama seperti filsuf Dante, Dubois menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa perlu melewati pimpinan Gereja. Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan duniawi Gereja (paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja.
            Menurut Schimid (1965:108-109), dalam beberapa hal pemikiran-pemikiran Dubois telah mampu menjawab kebutuhan hukum pada abad-abad kemudian. Misalnya saj, ia menguslkan agar hubungan-hubungan Negara (di bawah kekuasaan Perancis) itu diatur dalam bentuk federasi, yang mengingatkan kita pada badan PBB sekarang. Ia juga mengatakan bahwa raja pun memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang, tetapi raja tidka terikat untuk mematuhinya.
            Bukunya yang terpenting adalah De Recuperatione Terre Sance (Tentang Penaklukan kembali Tanah Suci)
           
Marsilius Padua (1270-1340) dan William Occam (1280-1317)
            Pemikiran Marsilius Padua seringkali diuraikan bersama-sama dengan pemikiran William Occam, mengingat keduanya banyak persamaannya. J.J. von Schmid (1965:109) menyebutkan, kedua orang ini termasuk tokoh penting abad ke-14, sama-sama dari ordo Fransiscan, dan pernah memberi kuliah di universitas di kota Paris. Karena pertentangannya terhadap pemikiran Gereja, kedua orang ini juga sama-sama dikeluarkan dari Gereja oleh Paus.
            Padua berpendapat bahwa Negara berada diatas kekuasaan paus. Kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Pendapatnya tentang kenegaraan banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Padua juga berpendapat bahwa tujuan Negara adalah untuk memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada warga Negara agar dapat menegmbangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, hukum harus mengabdi kepada rakyat. Bahkan, rakyat pula yang berwenang memilih pemerintahnya. Rakyat boleh menghukum penguasa (raja) yang melanggar undang-undang, termasuk memberhentikannya. Kekuasaan raja bukanlah kekuasaan absolute melainkan dibatasi oleh undang-undang.
            Pendapat Papua ini sangat menarik perhatian, karena termasuk progresif untuk ukuran Abad Pertengahan. Dalam banyak hal, pemikiran ini mirip dengan Rousseau. Disisi lain, filsafat Occam sering disebut Nominalisme, sebagai lawan dari pemikiran Thomas Aquinas (yang sesungguhnya sama-sama Aliran Hukum Alam yang irasional). Jika Thomas menyakini kemampuan rasio manusia untuk mengungkapkan kebenaran, Occam berpendapat sebaliknya. Rasio manusia tidak dapat memastikan suatu kebenaran. Pengetahuan (ide) yang ditangkap oleh rasio hanyalah nama-nama yang digunakan manusia dalam hidupnya.
            Karangan Padua yang terpenting berjudul Defensor Pacis, sedangkan salah satu karya Occam berjudul De Imperatorum et Pontificum Potestate.
           
John Wycliffe (1320-1384) dan Johannes Huss (1369-1415)
            Jika Marsilius Padua sering dibicarakan bersama dengan Occam, John Wycliffe acapkali disebut-sebut bersama dengan Johannes Huss. Sebagaimana umumnya para filsuf Abad Pertengahan, Wycliffe, seorang filsuf Inggris, juga menyoroti masalah kekuasaan Gereja. Ia menolak adanya hak-hak paus untuk menerima upeti dari raja Inggris. Wycliffe mengibaratkan hubungan antara kekuasaan ketuhanan dan keuasaan duniawi seperti hubungan antara pemilik dan penggarap tanah. Masing-masing memiliki bidangnya sendiri, hingga tidak boleh saling mencampuri.
            Urusan Negara seharusnya tidak boleh dicampuri oleh rohaniawan, karena corak pemerintahan para rohaniawan itu adalah corak kepemimpinan yang paling buruk. Pemerintatahan yang baik adalah pemerintahan yang dipimpin para pangsawan. Menurutnya, kekuasaan ketuhanan tidak perlu melalui perantara (rohaniawan Gereja), sehingga baik para rohaniawan maupun orang awam sama derajatnya di mata Tuhan.
            Huss melengkapi pemikiran Wycliffe. Huss mengatakan, bahwa Gereja tidka perlu mempunyai hak milik. Karena itu, penguasa boleh merampas milik itu apabila Gereja salah menggunakan haknya. Menurutnya, paus dan hierarki Gereja tidak diadakan menurut perintah Tuha. Gereja yang sebenarnya dibentuk oleh semua orang yang beriman. (Schmid,1965:115)

  1. Hukum Alam Rasional

Pendukung tokoh-tokoh dari aliran rasional adalah Hugo de Groot, Samuel von Pufendorf, Christian Thomasius, dan Immanuel Kant.

Hugo de Groot (1538-1645)
Hugo de Groot atau Grotius dikenal sebagai Bapak Hukum Internasional karena dialah yang mempelopori konsep-konsep hukum dalam hubungan antarnegara, seperti hukum perang dan damai, serta hukum laut.
Menurut Grotius, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah kemampuan akalnya, seluruh kehidupan manusia harus berdasarkan pada kemampuan akal (rasio).
            Hukum alam, menurutnya, adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusi. Hukum alam ini tidak mungkin dapat diubah, (secara ekstrem) Grotius mengatakan, bahkan oleh Tuhan sekalipun. Hukum alam itu diperoleh manusia dari akalnya, tetapi Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya
            Karya Grotius berjudul De Jure Belli ac Pacis, dan Mare Liberium.

Samuel von Pufendorf (1632-1694) dan Christian Thomasius (1655-1728)
Pufendorf adalah penganjur pertama hukum alam Jerman. Pekerjaannya dilanjutkan oleh Chiristian Thomasius. Pufendorf beperndapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam hal ini unsure naruliah manusia yang lebih berperan. Akibatnya, ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan satu dengan yang lainnya. Agar tidak terjadi pertentangan terus-menerus dibuatlah perjanjian secara sukarela diantara rakyat. Baru seterlah itu, diadakan perjanjian berikutnya, berupa perjanjian penaklukan oleh raja. Dengan adanya perjanjian itu, berarti tidak ada kekuasaan yang absolute. Semua kekuasaan itu dibatasi oleh Tuhan, hukum alam, kebiasaan, dan tujuan dari Negara yan didirikan.
Karangan Pufendorf tentang dasar-dasar hukum alam dan hukum antarnegara memberikan pembedaan yang tegas antara hukum dan moral (pendapat ini jelas lebih dekat ke aliran Positivisme Hukum daripada Hukum Alam). Schmid (1965:188-189) menyatakan, karangan Pufendorf justru penting karena pembedaan tersebut. Hukum alam yang lahir dari factor-faktor yang bersifat takdir dan berdasarkan sifat manusia yang fitra, seperti naluri, akan terdesak ke belakang. Di sisi lain pikiran tentang perundang-undangan akan maju ke depan. Adapun yang dimaksud dengan undang-undang di sini tidak lain adalah perintah dari penguasa.
Sementara itu, menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan dengan satu dengan yang lain. Karena itu diperlukan baginya aturan-aturan yang mengikat, agar ia mendapatkan kepastian dalam tindakan-tidakannya, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan demikian, dalam ajarannya tentang hukum alam, Thomasius sampai kepada pengertian tentang ukuran, sebagaimana Thomas Aquinas juga mengakuinya dalam hukum alamnya.
Apabila ukuran itu bertalian dengan batin manusia, ia adalah aturan kesusilaan, apabila ia memperhatikan tindakan-tindakan lahiriah, ia merupakan aturan hukum. Jika hendak diperlakukan, aturan hukum ini harus disertai dengan paksaan (Schmid, 1965:189). Tentu saja yang dimaksud oleh Thomasius di sini adalah paksaan dari pihak penguasa.
Karangan terpenting Pufendorf berjudul Fundamenta Juris nature et gentium.

Immanuel Kant (1724-1804)
            Filsafat Kant dikenal sebagai filsafat kritis, sebagai lawan dari filsafat dogmatis. Sekalipun demikian, sesungguhnya filsafat kritis dari Kant tersebut adalah periode kedua dari pemikiran Kant.
            Seperti yang diungkapkan oleh Bertens (1992:59), kehidupan v sebagai filsuf dapat dibagi atas dua periode, yakni zaman prakritis dan zaman kritis. Dalam zaman prakritis, Kant menganut pendirian rasionalitis yang dilancarkan oleh Wolff dan kawan-kawannya. Akibat pengaruh dari david Hume (1711-1776), berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalismenya. Ia sendiri mengatakan bahwa Humelah yang membangunkan dia dari tidurnya dogmatisnya. Setelah itu, Kant mulai mengubah pandangan filsafatnya menjadi pandangan yang bersifat kritis.
            Hume sendiri dalam flsafat dikenal sebagai tokoh empirisme, suatu aliran yang bertentangan dengan rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia bukan rasio, melainkan pengalaman (empiri), tepatnya pengalaman  yang berassal dari pengenalan inderawi.
            Filsafat Kant merupakan sintesis dari rasionalisme yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant adalah filsuf pertama yang melakukan penyelidikan ini. Para filsuf yang tergolong dalam dogmatisme sebelumnya menyakini kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu. Kant menyelidiki unsur-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio (sudah ada terlebih dahulu tanpa dibantu oleh pengalaman) dan mana yang murni berasal dari empiris.
            Ada tiga buku utama Kant yaitu Kritik de reinen Vernunft (1781), Kritik der pratischen Vernunft (1781) dan Kritik der Urteilskraft (1970). Rasio murni akan melahirkan ilmu pengetahuan, dan rasio praktis melahirkan etika, sedangkan daya pertimbangan melahirkan kesenian. Bagi Kant, titik berat dari kritismenya ada pada kritik yang pertama, yakni pada rasio yang murni.
            Pengikut Kant, dikenal dengan sebutan kaum Kantian. Selain bukunya diatas terdapat Metaphysische Anfangsgrunde der rechtslehre.

  1. Positivisme Hukum

Positivesme Hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das Sein dan das Sollen). Dalam pandangan positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.
            Positivisme Hukum dapat dibedakan dalam dua corak : Aliran Hukum Positif Analitis (Analytical Jurisprudence), dan Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre). Aliran Hukum Positif yang pertama dipelopori oleh John Austin, dan aliran yang kedua oleh Hans Kelsen.

Aliran Hukum Positif Analitis : John Austin (1790-1859)
            Hukum adalam perintah dari penguasa negera. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur perintah itu. Hukum dipandang sebagai suatu system yang tetap, logis, dan tertutup. Dalam bukunya The province of Jurisprudence determined, Austin menyatakan, “ A law is a command which obliges a person… Laws and other commands are said to proceed from seperiors, and to bind or oblige inferiors”.
            Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain kea rah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya (Lyons, 1993:7-8).
            Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis : Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws), dan hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibaut oleh manusia ini dapat dibedakan lagi dalam : hukum sebenarnya, dan hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum postitif) meliputi hukum yang dibaut oleh para penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu: perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty) dan kedaulatan kedaulatan (sovereignty).
            Buku yang pernah ditulis Austin adalah The Porvince of Jurisprudence Determined, dan ajarannya dikenal dengan sebutan The Imperative School.

Aliran Hukum Murni : Hans Kelsen (1881-1973)
            Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasri yang non yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, histories, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori Hukum Murni dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori keharusan/ideal), bukan Seinskategorie (kategori faktual). Baginya hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya tetapi apa hukumnya. Dengan demikian, walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
            Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangatd ekat dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama sekali tidak mengetahui karya Austin (Friedmann, 1990:169). Walaupun demikian, asal usul filosofi anatara pemikiran Kelsen dan Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan Austin pada Utilitarianisme.
            Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan antara bentuk dan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi (material). Jadi, ekadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.
            Disisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum positif itu pada kenyataannya dapat saja menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan penerapannya. Dalam hukum pidana, misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan depenalisasi, sehingga suatu ketentuan dalam hukum positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.
            Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu system yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, diseut oleh Kelsen dengan nama grundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.
            Teori jenjang dari Kelsen ini kemudian dikembangkan lagi oleh muridnya bernama Hans Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan pembasannya pada norma hukum saja. Sebagai penganut aliran hukum positif, hukum disini pun diartikannya identik dengan perundang-undangan (peraturan) yang dikeluarkan oleh penguasa). Teori dari Nawiasky disebut die lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung.
            Karya Hans Kelsen antara lain berjudul : The Pure Theory of Law, dan general Theory of Law and State. Ajaran yang kemukakan oleh Kelsen acapkali Mazhab Wina.
           
  1. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat tersebut (the greatest happiness for the greatest number of people).
            Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa bertujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk meberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.
            Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.

Jeremy Bentham (1748-1832)
            Bentham berpendapat bahwa alam memberian kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikkan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.
            Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada indivu-individu, bukan langsung kepada masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan amsyarakatpun penting diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengajar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo himini lupus (manusia menajdi serigala bagi manusia yang lain).
            Untuk menyeimbangkan antarkepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan agar ada simpati dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiannya, dengan sendirinya kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.
            Pemidanaan, menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar (Rahardjo, 1986:239). Ajaran seperti inni didasarkan atas hedonistic utilitarianism.
            Ada dua kekurangan pemikiran Bentham yang dicatat oleh Friedmenn (1990:116-117). Pertama, rasionalisme Bentham yang abstrak dan doktriner mencegahnya melihat individu sebagai keseluruhan yang kompleks. Ini menyebabkan terlalu melebih-lebihkan kekuasaan pembuat undang-undang dan meremehkan perlunya individualisasi kebijakan dan keluwesan dalam penerapan hukum. Ia juga terlalu yakin dengan kemungkinan kodifikasi ilmiah yang lengkap melalui prinsip-prinsip yang rasional, sehingga ia tidak lagi menghiraukan perbedaan-perbedaan nasional dan histories. Padahal, pengalaman terhadap kodifikasi di berbagai Negara menunjukkan, bahwa penafsiran yang elastis dan bebas dari hakim senantiasa dibutuhkan. Kelemahan kedua adalah kegagalan Bentham untuk menjelaskan konsepsinya sendiri mengenai keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.
            Tulisan-tulisan Bentham antara lain An Indtroduction to the Principles of Moral and Legislation, Theory on Legislation, Principles of the Civil Code, A Fragment on Government, Constitutional Code, The rationale of Judicial Evidence, Of Laws in General.

John Stuart Mill (1806-1873)
            Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis, yang pada awalnya dikembangkan oleh ayahnya sendiri, James Mill. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi, yang ingin dicapai oleh manusia itu bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.
            Dalam sejarah filsafat, Mill sering digolongkan sebagai penganut Positivisme Hukum. Hal ini dapat dimengerti karena Mill sangat dipengaruhi oleh pemikiran Positivisme dari Auguste Comte (1798-1857). Walaupun demikian, Mill tidak setuju dengan Comte yang menyatakan bahwa psikologi bukanlah ilmu.
            Bagi Mill, psikologi justru merupakan ilmu yang paling fundamental. Psikologi mempelajari penginderaan-penginderaan (sensations) dan cara susunannya. Susunan penginderaan-penginderaan terjadi menurut asosiasi. Psikologi harus memperlihatkan bagaimana asosiasi penginderaan satu dengan penginderaan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap. Itulah sebabnya psikologi merupakan dasar bagi semua ilmu lain, termasuk juga logika (Bertens, 1992:74).
            Menurut Friedmann (1990:120-121), peran Mill dalam ilmu hukum terletak dalam penyelidikannya mengenai hubungan antara keadilan, kegunaan, kepentingan individu, dan kepentingan umum. Mill menolak pandangan Bentham yang berasumsi bahwa antara kepentingan individu dan kepentingan umum tidak ada pertentangan. Mill juga menolak cara pandangan Immanuel Kant yang mengajarkan agar individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Karena menurut Mill, tidaklah dapat dimengerti, mengapa individu harus mengekang usaha-usahanya untuk kebahagiaan, demi kepentingan anggota-anggota lain dari masyarakat.
            Dalam menjawab semua itu, Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunanaan dan keadilan. Pada hakikatnya, perasaan individu akan keadilan akan membuat individu itu menyesal dan ingin membalas denda kepada tiap yang tidak menyenangkannya. Rasa sesal dan keinginan demikian dapat diperbaiki dengan persaan sosialnya (disini tampak bahwa Mill menelaah masalah ini dengan kacamata psikologi. Seperti yang dikutip oleh Friedmann (1990:120-121), Mill menyatakan bahwa orang-orang yang baik menyesalkan tindakan yang tidak baik terhadap masyarakat, walaupun tidak mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang baik tidak menyesalkan perbuatan tidak baik terhadap diri sendiri, walaupun menimbulkan rasa sakit, kecuali kalau masyarakat bermaksud menindasnya. Apa yang digambarkan tersebut merupakan ungkapan dari rasa adil. Ia berpendapat bahwa perilaku kita akan sedemikian rupa sehingga semua mahluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan kepentingan mereka bersama. “Nafsu binatang untuk menolak atau membalas perbuatan jahat yang melukai atau yang merugikan diri sendiri bertambah, dan dengan demikian memperbaiki akhlak. Penonjolan diri dan kesadaran atas kebaikan besama bergabung dengan rasa adil. Karangan Mill yang menonjol antara lain berjudul On Liberty.

Rudolf von Jhering (1818-1892)
            Ajaran Bentham dikenal sebagai Utilitarianisme individual, sedangkan rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat social. Teori van Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum dari John Austin (Rasjidi, 1990:45).
            Mula-mula von Jhering menganut Mazhab Sejarah yang dipelopori von Savigny dan Puchta, tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menetang pandangan von Savigny tentang hukum Romawi (Huijbers, 1988:130). Perlu diketahui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang timbul setelah ia melakukan studi yang mendalam tentang hukum Romawi. Huijbers memasukkan Jhering sebagai salah satu tokoh penting Positivisme Hukum.
            Menurut von Savigny, seluruh hukum Romawi merupakan pernyataan jiwa bangsa Romawi, dan kerenanya merupakan hukum nasional. Hal ini dibantah oleh von Jhering. Seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang memperngaruhinya, demikian pula halnya dalam bidang kebudayaan karena pergaulan intensif antarbangsa terdapat asimilasi pandangan-pandangan dan kebiasaan-kebiasaan. Hukum Romawi dalam perkembangannya berfungsi sebagai ilustrasi kebenaran tersebut. Sudah barang tentu lapisan tertua hukum Romawi bersifat nasional, tetapi pada tingkat-tingkat perkembangannya yang lebih lanjut hukum itu makin mendapat ciri-ciri universal. Inilah jalan biasa dalam perkembangan suatu system hukum nasional, sehingga hukum yang pada mulanya nasional makin menjadi hukum universal. Dengan mengetengahkan gagasan ini, von Jhering mendukung pandangan von Savigny bahwa hukum romawi dapat digunakan sebagai dasar hukum nasional Jerman, tetapi alasannya berlainan. Hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi itu bersifat nasional, tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan banyak aturan hidup lain, sehingga hukum itu lebih bersifat universal daripada nasional (Huijbers, 1988:130).
            Pertimbangan ini diperkuat oleh pandangan von Jhering mengenai timbulnya hukum. Menurut von Savigny, hukum timbul dari jiwa bangsa secara spontan, tetapi menurut von Jhering hal ini tidak dapat dibenarkan.
            Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan social dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain (Friedmann, 1990:124).
            Karya Jehring antara lain : Der Zweck im recht, Scherz und Ernst in der Jurisprudenz, Der Schuldmoment im romischen Privatrecht.
 
  1. Mazhab Sejarah
 Mazhab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga hal (Basuki, 1989:32), yaitu :
  1. Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, denga terutama mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional;
  2. Semangat Revolusi Prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya (kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya), yaitu seruannya ke segala penjuru dunia (Soekanto, 1979:26);
  3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code Civil dinyatakan sebagai kehendak legislative dan harus dianggap sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.
Di samping itu, terdapat factor lain, yaitu masalah kodifikasi hukum Jerman setelah berakhirnya masa Napoleon Bonoparte, yang diusulkan oleh Thibaut (1772-1840), guru besar pada Universitas Heidelberg di Jerman dalam tulisannya yang terbit Tahun 1814, berjudul Uber die Notwendigkeit eines Allegemeinen Burgerlichen rechts fur deutchland (tentang keharusan Suatu Hukum perdata bagi Jerman). Karena dipengaruhi oleh keinginannya akan kesatuan Negara, ia menyatakan keberatan terhadap hukum yang tumbuh berdasarkan sejarah. Hukum itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilangnya keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan undang-undang dalam kitab. Hal ini merupakan kebanggaan Jerman. Keberatan yang dikemukakan ialah bahwa di berbagai daerah, hukum itu harus disesuaikan dengan keadaan setempat yang khas dan bahwa orang harus menghormati apa yang dijadikan adapt, tidak dapat mengimbangi keuntungan yang dibawa olehnya. Usah saatnya melaksanakan sesuatu yang luar biasa yang mungkin direalisasikan (Schmid, 179:62-63).
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, abad ke-18 adalah adab rasionalisme, Pemikiran rasionalisme mengajarkan universalisme dalam cara berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya Mahzab Sejarah, yang menentang universalisme.
Mahzab Sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, maka penganut Mahzab Sejarah sudah mengarah kepada bangsa, tepatnya jiwa bangsa (Paton, 1951:15).
Tokoh-tokoh penting dalam mazhab sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan henry Sumner Maine.

Friedrich Karl von Savigny (1770-1861)
            Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu dengan timbulnya bahasa suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki cirri khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian. Karena tidak ada bahasa yang universal, maka tiada pula hukum yang universal. Pandangannya ini jelas menolak cara berpikir penganut Aliran Hukum Alam.
            Hukum timbul, menurut Savigny, bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif). Jiwa bangsa (Volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum. Seperti diungkapkannya “Law is an expression of the common consciousness or spirit of people”. Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke). Pendapat Savigny seperti ini, bertolak belakang pula dengan pandangan Positivisme Hukum. Akhirnya ia mengatakan, untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa, mutlak perlu dilakukan.
            Paton (1961:16) memberikan sejumlah catatan terhadap pemikiran Savigny sebagai berikut : a) jangan sampai kepentingan dari golongan masyarakat tertentu dinyatakan sebagai Volksgeist dari masyarakat secara keseluruhannya; b) tidak selamanya peraturan perundang-undangan itu timbul begitu saja, karena dalam kenyataannya banyak ketentuan mengenai Serikat kerja di Inggris yang tidak akan terbentuk tanpa perjuangan keras; c) Jangan sampai peranan hakim dan ahli hukum lainnya tidak mendapat perhatian, karena walaupun  Volksgeist itu dapat menjadi bahan kasarnya, tetap saja perlu ada yang menyusunnya kasus peniruan memainkan peranan yang lebih besar daripada yang diakui penganut Mazhab Sejarah. Banyak bangsa yang dengan sadar mengambil alih hukum Romawi dan mendapat pengaruh dari hukum Perancis.

Puchta (1798-1846)
Puchta adalah murid dari von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya. Sama dengan Savigny, ia berpendapat bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan.
            Hukum tersebut, menurut Puchta, dapat berbentuk : langsung berupa adat istiadat; melalui undang-undang, melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum (Huijbers, 1988:120).

 Henry Sumner Maine (1822-1888)
            Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran von savigny, sehingga ia dianggap sebagai pelopor Mahzab Sejarah di Inggris. Pemikran Savigny tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Maine dalam berbagai penelitian yang dilakukannya. Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah tentang studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat sederhana dan masyarakat yang telah maju, yang dilakukannya berdasarkan pendekatan sejarah. Kesimpulan penelitian itu kembali memeprkuat pemikiran von Savigny, yang membuktikan adanya pola evolusi pada berbagai amsyarakat dalam situasi sejarah yang sama.
            Sumbangan Maine bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak pada penerapan metode empiris, sistematis, dan sejarah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Pendekatan illmiahnya jauh berbeda dengan pendekatan yang lazim dipergunakan dalam pemikiran-pemikiran filosofis dan spekulatif (Soekanto, 1985:12-14).
Karya Maine berjudul Ancient Law dan Early law and Custom.

  1. Sociological Jurisprudence
 Istilah Sociological dalam menamai aliran ini, menurut Paton (1951:17), kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan istilah metode fungsional. Oleh karena itu, ada pula yang menyebutkan Sociological Jurisprudence ini dengan Functional Anthropoligical (Rasjidi, 1988:2433).
Dengan menggunakan istilah metode fungsional, paton ingin menghindari kerancuan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum (the sociology of law) (Paton, 1951:20-21). Menurut Lily Rasjidi (1990:47-48), perbedaan antara Sociological Jurisprudence dan Sosiologi hukum adalah sebagai berikut Pertama, Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah cabang dari sosiologi. Kedua, walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh timbale balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari amsyarakat ke hukum.
Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut, menurut Paton (1951:21) adalah bahwa sosiologi hukum berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara umum) dan ilmu putik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Sociological Jurisprudence (seperti yang dikemukakan Pound) menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkann secara tegas antara hukum postif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialetika antara (tesis) Positivisme dan (antisesis) Mahzhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya Mahzab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat. Jika aliran pertama mementingkan akal, maka aliran yang kedua mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.
Aliran Sociological Jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum Indonesia. Tokoh aliran Sociological Jurisprudence antara lain Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

Eugen Ehrlich (1861-1922)
            Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran Sociological Jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dai Austria dan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut sosiologis.
            Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak. Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat tadi (Rasjidi, 1988:55). Disini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut Positivisme Hukum.
            Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada pada kekuatan-kekuatan social tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada pengakuan social terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya secara resmi oleh Negara. Bagi Ehrlich, tertib social didasarkan pada fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma social yang tercermin dalam system hukum. Secara konsekuen Ehrlich beranggap bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang mengenmabngkan system hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan. Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup (Soekanto, 1985:20-21).
            Sampai disini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan von Savigny. Tetapi Ehrlich tidak menggunakan istilah volksgeist yang agak berbau mistik itu. Ia memilih istilah yang lebih realistis, yakni kenyataan-kenyataan hukum (facts of law) atau hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) (Roestandi, 1987:98).
            Friedmann (1990a:108) menyebutkan tiga kelemahan utama pemikiran Ehrlich karena keinginannya meremehkan fungsi Negara dalam pembentukan undang-undang. Pertama, Ehrlich tidak memberikan criteria yang jelas yang membedakan norma hukum dengan normal sosiologi umum saja. Kedua, ia meragukan pisis kebiasaan sebagai sumber hukum dan sebagau suatu bentuk hukum. Pada masyarakat primitive posisi kebiasaan ini sangat penting sebagai sumber dan bentuk hukum, tetapi tidak demikian lagi pada masyarakat modern. Pada masyarakat modern, posisi tersebut digantikan oleh undang-undang, yang selalu dengan derajat bermacam-macam bergantung pada kenyataan-kenyataan hukum (facts of law), namun berlakunya sebagai hukum tidak bersumber pada ketaatan factual ini. Friedmann menyatakan, kebingungan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich. Ketiga, Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan antara norma hukum Negara yang khas dan norma hukum di mana Negara hanya memberi sanksi pada kenyataan-kenyataan sosial. Norma yang pertama melindungi tujuan khusus Negara, seperti kehidupan konstitusional, serta keuangan dan administrasi. Dalam masyarakat modern, norma ini terus bertambah banyak, sehingga menuntut pengawasan yang lebih banyak dari Negara. Konsekuensinya, peranan kebiasaan terus berkurang, bahkan sebelum pembuatan undang-undang secara terinci. Sementara itu, undang-undang yang dikeluarkan pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan masyarakat sama banyaknya dengan pengaruh pada dirinya sendiri.
            Buku Ehrlich yang terkenal antara lain berjudul Grundlegung der Soziologie des Rects.

Roscoe Pound (1870-1964)
Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social engeering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut, Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepnetingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut :
  1. Kepentingan umum (public interest)
    1. Kepentingan Negara sebagai badan hukum;
    2. Kepentingan Negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
  2. kepentingan masyarakat (Social interest)
    1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
    2. Perlindungan lembaga-lembaga social
    3. Pencegahan kemerosotan akhlak
    4. Pencegahan pelanggaran hak
    5. Kesejahteraan Sosial
  3. Kepentingan pribadi (Private interest)
    1. Kepentingan individu
    2. Kepentingan keluarga
    3. Kepentingan hak milik
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, pound mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan social dan sebagai alat dalam perkembangan social (Rasjidi, 1990:134). Memang, seperti yang juga dinyatakan oleh Roestandi (1987:107). Penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh von Jhering. Karena itu, dilihat dari hal tersebut, Pound sebenarnya dapat pula digolongkan sebagai penganut Utilitarianisme sebagai penerus jhering dan Bentham.
Kedua, klasifikasi tersebut berperan besar dalam menjelaskan dasar-dasar hukum yang sama, serta memberikan dasar kepada pembuat undang-undang (legislator), hakim dan pengacara tentang nilai-nilai yang terkandung dalam suatu masalah hukum tertentu (Roestandi, 1987:107). Dengan perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip (hukum) dan praktiknya (Rasjidi, 1990:134).
Karya Roscoe Pound sangat banyak jumlahnya, dan beberapa telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, seperti 1) Pengantar Filsafat Hukum, dan 2) Tugas Hukum. Beberapa karangannya antara lain berjudul : 1) The History and System of The Common law, 2) Social Control through law, 3) Justice According to law.

  1. Realisme Hukum
Realisme Hukum berkembang dalam waktu yang bersamaan dengan Sociological Jurisprudence. Ada penulis yang memasukkan aliran ini sebagai bagian dari Positivisme Hukum (Friedmann, 1990 : 187; Roestandi, 1987:38), tetapi ada yang memasukkannya sebagai bagian dari Neopositivisme (Huijbers, 1988:174-202), atau bahkan sebagai aliran tersendiri (Rasjidi, 1990:27).
Dalam pembahasannya, Rasjidi (1990:49-54), tampaknya mengidentifikkan antara Realisme dengan Pragmatic Legal Realism. Sebaliknya, Roestandi (1987:103-106) membedakannya, walaupun memasukkan keduanya dalam satu aliran yang sama, yaitu Realisme (dalam arti luas).
Dalam pandangan penganut Realisme (para realis), hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan social dan alat control social. Karena itu, program studi (telaahan) para realis hampir tidak terbatas, seperti kepribadian manusia, lingkungan social, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang diikuti, emosi massa. Semua itu adalah pembentukan hukum dan hasil hukum dalam kehidupan (Friedmann, 1990:191).
Karl N. Llewellyn, seorang ahli sosiologi hukum, menyebutkan beberapa cirri dari Realism ini, yang terpenting diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Tidak ada Mazhab realis; Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum;
  2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan social, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum;
  3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin karena keinginan-keinginan pengamat atau tujuan-tujuan etis;
  4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum, sepanjang ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum mengambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-penagdilan dan orang-orang. Realisme menerima defenisi peraturan-peraturan sebagai ramalan-ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan. Sesuai dengan kepercayaan itu, Realisme menggolongkan kasus-kasus ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil daripada yang terdapat dalam praktik di masa lampau.
  5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan megingatkan akibatnya.
Dengan demikian, Realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru menetapkan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
            Dilihat dari pandangan tersebut,  Realisme sebenarnya adalah reaksi terhadap Positivisme Hukum. Jika dalam Positivisme hakim dianggap corong undang-undang (dengan menggunakan logika dan silogisme), maka Realisme ingin memberikan kekuasan yang lebih besar kepada Hakim (dengan menggunakan analogi) dalam memutuskan suatu perkara (Roestandi, 1987:103).
            Sebenarnya Realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skamdinavia. Skala gerakan Realisme Skdandinavia lebih luas daripada Realisme Amerika karena pusat perhatiannya bukanlah para fungsionaris hukum, tetapi justru orang-orang yang berada di bawah hukum. Realisme Skandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.
Menurut Friedmann (1990:201), Realisme Skandinavia meiliki persamaan dengan Realisme Amerika adalah semata-mata verbal. Realisme Amerika adalah hasil dari pendekatan pragmatis dan paling sopan pada lembaga lembaga social. Para ahli hukum telah menggembangkannya dengan cirri khas Anglo-Amerika, yakni tekanan pada pekerjaan pengadilan-pengadilan dan tingkah laku pengadilan-pengadilan, untuk memperbaiki filsafat tentang positivisme analitis, yang menguasai ilmu hukum Anglo-Amerika pada Abad ke-19. Mereka menekankan pada bekerjanya hukum; hukum baik sebagai pengalaman maupun sebagai konsepsi hukum. Namun mereka kurang memperhatikan dasar hukum transedental. Waktu mereka condrong menyetujui filsafat hukum yang relativistis, para realis Amerika tidak berusaha menguraikan secara terperinci suatu filsafat tentang nilai-nilai. Dengan kata tidak berusaha menguraikan secara terinci suatu filsafat tentang nilai-nilai. Dengan kata –kata Llewellyn, mereka mengamsusikan adanya pemisahan sementara yang ada dari yang seharusnya untuk tujuan studi.
Selanjutnya Friedmann (1990:201) menyatakan, sebaliknya realisme Skandinavia adalah semata-mata kritik falsafiah atas dasar-dasar metafisis dari hukum. Dengan menolak pendekatan bahasa yang sederhana dari para realis Amerika, realisme Skandanavia jelas bercorak continental dalam pembahasan yang kritis, dan sering sangat abstrak, tentang prinsip-prinsip yang pertama.

Realisme Amerika
Tokoh-tokoh utama Realisme Amerika antara lain John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes Jr, Jerome Frank, William James, dan B.N. Cardozo.

John Chipman Gray (1839-1915)
            Sebagaimana cirri Realisme Amerika, Gray menempatkan hakim sebagai pusat perhatiannya Ia menyatakan bahwa disamping logika sebagai factor penting dalam pembentukan perundang-undangan, unsure kepribadian, prasangka, dan unsure-unsur lain di luar logika memiliki pengaruh yang besar. Untuk membuktikan pandangannya, Gray mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan Amerika yang menunjukkan bagaimana factor-faktor politik, ekonomi, dan sifat-sifat pribadi yang lain dari hakim, telah memberi pengaruh dalam penyelesaian masalah hukum bagi jutaan orang selama ratusan tahun (Soetiksno, 1976; Friedmann, 1990:188).
.
Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Menurut Holmes, seorang sarjana hukum menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis. Kalau ia berusaha mengambil sikap demekian, ia akan sampai pada keyakinan bahwa para penjahat pun sama sekali tidak menaruh minat pada prinsip-prinsip normative hukum, sekalipun kelakuan mereka seharusnya diatur menurut prinsip-prinsip itu. Bagi mereka yang penting manakah kelakuan actual (patterns of behavior) seorang hakim, yakni pertanyaan, apakah seorang hakim akan menerapkan sanksi pada suatu kelakuan yang tertentu atau tidak.
Kelakuan para hakim pertama-tama ditentukan oleh norma-norma hukum. Berdasarkan tafsiran lawim kaidah-kaidah hukum itu dapat diramalkan, bagaimana kelakuan para hakim dikemudian hari. Di samping norma-norma hukum hukum bersama tafsirannya, moral hidup dan kepentingan social ikut menentukan keputusan para hakim tersebut (Huijbers, 1988:179).
Ucapan Holmes yang terkenal, yang dianggap secara tepat menggambarkan Realisme Hukum Amerika berbunyi “…the prophecies of what the courts will do in fact and nothing more pretentious, are what I mean by law…” (apa yang akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya maksudkan dengan hukum).
            Karya penting Holmes antara lain adalah The path of Law.

Jeremo Frank (1889-1957)
            Frank adalah salah seorang penganut pemikiran Holmes. Menurut Frank, hukum tidak dapat disamakan dengan suatu aturan tetap. Dalam aturan tetap, norma kaidah hukum berperan seakan-akan merupakan prinsip-prinsip logika. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip tersebut, hakim kemudian menjatuhkan putusannya.
            Dalam pandangan Frank, gambaran seperti itu menyerupai bayangan yang dimiliki seorang anak dalam hubungan dengan anyahnya. Dalam bayangan itu, ayah bersifat sempurna dan tidak dapat bersalah. Demikian juga halnya bila suatu peraturan dipandang sebagai bagian suatu aturan yang tetap, sehingga selalu menjamin kepastian.
            Menurut Frank, seorang modern tidak mau ditipu lagi oleh ilusi-ilusi semacam ini. Manusia jaman sekarang tahu bahwa hukum sebenarnya hanya tersdiri dari putusan-putusan pengadilan, dan bahwa putusan-putusan itu tergantung dari banyak factor. Ia tidak menyangkal bahwa norma-norma hukum yang berlaku memang mempengaruhi putusan hakim, tetapi tidak lebih sebagai salah satu unsure pertimbangan saja. Sama dengan Gray, Frank berpendapat, unsure-unsur lain, seperti prasangka politik, ekonomi, moral, bahkan simpati dan antipati pribadi, semuanya ikut berperan dalam putusan tersebut. Norma kaidah hukum sebaiknya dilukiskan sebagai suatu generalisasi fiktif dari kelakuan para hakim. Oleh karena itu, dengan melihat norma-kaidah hukum itu dapat juga diramalkan tentang kelakuan seorang haki di masa depan, walaupun ramalan ini hanya berlaku dalam batas tertentu (Huijbers, 1988:179).

William James (1824-1910)
            Menurut James, pragmatisme adalah nama baru untuk beberapa cara pemikiran yang sama, yang sebenarnya juga Posotivis. Ia menyatakan bahwa seorang pragmatis menolak abstaksi dan hal-hal yang tidak memadai, penyelesaian secara verbal, alasan apriori yang tidak baik, prinsip yang ditentukan, system yang tertutup, dan hal-hal yang dianggap mutlak dan asli. Ia berbalik menentang kelengkapan dan kecukupan, fakta, perbuatan, kekuasaan. Itu berarti sifat memerintah berdasarkan pengalaman, dan sifat rasional melepaskan diri dengan sungguh-sungguh. Itu berarti suatu keterbukaan dan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda dari dogma, kepalsuan, dan anggapan final dari kebenaran (Friedmann, 1990:189).
            Karya-karya penting dari James antara lain berjudul : 1) The meaning of Truth, dan 2) Varieties of Religius Experience.

Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938)
            Cardozo sangat terpengaruh oleh teori-teori ilmu hukum sosiologis, yang menekankan pada kepekaan yudisiil terhadap realitas social. Tokoh ini beranggapan bahwa hukum mengikuti perangkat aturan umum dan yakin bahwa penganut terhadap preseden seharusnya merupakan aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan. Namun ia mengemukakan adanya kelonggaran atau keluwesan pelaksanaan aturan ketat itu apabila penganut terhadap preseden tidak konsisten dengan rasa keadilan dan kesejahteraan social. Ia berpendapat bahwa kebutuhan akan kepastian harus diselarasikan dengan kebutuhan akan kemajuan, sehingga doktrin preseden tidak dapat dianggap sebagai kebenaran yang mutlak dan abadi (Soekanto, 1985:32). Disini terlihat bahwa kegiatan hakim seharusnya mengikuti norma yang terkandung dalam kepentingan umum (Salman, 1987:46).
            Cardozo beranggapan, berbagai kekuatan social mempengaruhi instrumental terhadap pembentukan hukum, misalnya logika, sejarah, adapt-istiadat, kegunaan, dan standar moralitas yang telah diakui. Ia tidak menerima pendapat bahw ahukum merupakan suatu lembaga yang tidak mempunyai segi umum dan kesatuan, sehingga hanya terdiri dari unsur-unsur yang terisolasikan atas dasar urutan yang kacau. Cardozo berpendapat, adanya standar-standar yang diakui masyarakat serta pola nilai-nilai objektif merupakan suatu tanda adanya kesatuan serta konsistensi dalam hukum, walaupun adanya keputusan-keputusan subjektif dari para hakim tidak dapat dicegah dalam semua kasus yang dihadapi (Soekanti, 1985:33).
            Menurut Cardozo, perkembangan hukum sebagai gejala sejarah ditentukan oleh perubahan-perubahan dalam masyarakat, serta pandangan masyarakat mengenai adapt-istiadat dan moralitas. Ia beranggapan, para hakim dan legislator harus senantiasa memperimbangkan kondisi-kondisi social serta masalah-masalah social dalam pemebentukan hukum.
            Prinsip-prinsip sosiologis, menurut Cardozo dalam bukunya The Nature of The Judicial Process (1921), harus senantiasa dipergunakan, agar hukum selalu serasi dengan kebutuhan-kebutuhan social dan cita-cita tertib social yang kontemporer. Bagi Cardozo, hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat, sedangkan para legislator harus mendapatkan pengetahuan mengenai perubahan dari pengalaman serta studi terhadap kehidupan maupun pencerminannya (Soekanto, 1985:33).
            Prinsip-prinsip yang dikemukakan tersebut tercermin pula dari pernyataan Cardozo, sebagaimana dikutip oleh Denning (1955:65), My duty as judge may be to objectify in law, not my own aspirations and convistions and philisophies, but the aspirations and convictions and philosophies of the men and women of my time. Hardly shall I do this weel if my own sympatihies and beliefs and passionate devotions are with a time that is past (Mertokusumo, 1991:159).

Realisme Skandinavia
            Tokoh-tokoh utama Realisme Skandinavia antara lain adalah Axel Hagerstrom, Alt Ross, H.L.A Hart, Julius Stone, da John Rawls.
 
Alex Hagerstrom
            Hagerstrom menyelidiki asas-asas hukum yang berlaku pada jaman Romawi. Ia melihat, bahwa rakyat Romawi menaati hukum secara irasional, berdasarkan bayangan yang bersifat magis atau ketakutan pada tahyul. Jadi, segalanya bersifat metafisis, dan segala pikiran metafisis, menurut Hagerstrom, adalah khayalan belaka.
            Hagerstrom menyatakan, hukum seharusnya diselidiki dengan bertitik  tolak pada data empiris, yang dapat ditemukan dalam perasaan psikologis. Adapun yang dimaksud dengan perasaan psikologis ini adalah rasa wajib, rasa kuasa dalam mendapat untung, rasa takut akan reaksi dari lingkungan dan sebagainya (Huijbers, 1988:81).

Alf Ross
            Sebagaimana penganut Realisme Hukum, Ross berpendapat, bahwa hukum adalah suatu realitas sosial. Ross berusaha membentuk suatu teori hukum yang empiris belaka, tetapi yang dapat mempertanggungjawabkan keharusan normative sebagai unsure mutlak dari gejala hukum. Hal ini hanya mungkin, kalau berlakunya normative dari peraturan-peraturan hukum ditafsirkan sebagai rasionalisasi atau ungkapan simbolis dari kenyataan-kenyataan fisio-psikis. Maka dalam realitas terdapat hanya kenyataan-kenyataan saja. Keharusan normatif yang berupa rasionaisasi dan symbol itu, bukan realitas, melainkan bayangan manusia tentang realitas (Huijbers, 1988:186).
            Perkembangan hukum, menurut Ross, melewati empat tahapan, Pertama,hukum adalah suatu system paksaan yang aktual. Kedua,      hukum adalah suatu cara berlaku sesuai dengan kecenderungan dan keinginan anggota komunitas. Tahapan ini baru diterapkan apabila orang mulai takut akan paksaan, sehingga selanjutnya paksaan itu mulai ditinggalkan. Ketiga, hukum adalah sesuatu yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis yang benar. Ini terjadi karena anggota komunitas sudah terbiasa dengan pola ketaatan terhadap hukum. Keempat, supaya hukum berlaku, harus ada kompetensi pada orang-orang yang membentuknya.
            Menurut Huijbers (1988:186-187), walaupun dalam teori Ross terdapat unsure-unsur yang menerangkan timbulnya peraturan-peraturan hukum tertentu, namun pada umumnya ajarannya kurang memuaskan. Ross mau menerima norma hukum, akan tetapi norma-norma itu ditafsirkannya sebagai gejala psikologis belaka. Itu berarti bahwa norma-norma itu sebenarnya bukan norma-norma yang sesungguhnya; dan juga gejala etis tidak dipahami oleh Ross. Apa yang dituliskan Ross tentang timbulnya hukum dapat terjadi juga dalam suatu gerombolan gangster, tetapi adapt suatu gerombolan gangster tidak pernah menjadi hukum.
            Karya penting Ross antara lain berjudul 1) Theorie der Rechtsquellen, 2) Kritik der Sogenannten Praktischen Erkentniss, dan 3) Towards A realistic Jurisprudence.

H.L.A. Hart (Lahir 1907)
            Hart mengatakan, hukum harus dilihat, baik dari aspek ekstren maupun internnya. Dari segi ekstren, berarti hukum dilihat sebagai perintah penguasa, sebagaimana diartikan oleh Austin. Di samping itu, ada aspek intern, yaitu keterikatan terhadap perintah dari penguasa itu secara batiniah.
            Norma-norma hukum dapat dibagi dua, yaitu norma primer dan sekunder. Norma primer adalah norma yang menentukan kelakuan subjek-subjek hukum, dengan menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang. Norma sekunder ini memastikan syarat-syarat bagi berlakunya norma-norma primer dan dengan demikian menampakkan sifat yuridis norma-norma itu. Sebab itu, mereka disebut petunjuk pengenal (rules of recognition). Di samping itu mereka memastikan syarat bagi perubahan kaidah-norma itu (rules of change) dan bagi dipecahkannya konflik dalam rangka norma-kaidah itu (rules of adjudication)(Huijbers, 187:188).
            Jika rules of adjudication memuat ketentuan yang menjelaskan apa yang dimaksud oleh norma primer, maka rules of change mengesahkan adanya norma primer yang baru, sedangkan rules of adjudication berisi aturan untuk menentukan apakah suatu norma primer telah dilanggar.
            Dapat dikatakan, bahwa norma-norma sekunder ada hubungan dengan kompetensi dalam bidang hukum. Norma-norma itu menentukan kewibawaan instansi-instansi hukum untuk membentuk hukum. Artinya, berkat norma-norma sekunder dalam aturan hukum, sebuah masyarakat norma-norma yang berlaku, untuk mengubahnya, dan untuk memecahkan masalah-masalah hukum (Huijbers, 1988:188).
            Tiga sifat dari norma sekunder seperti disebutkan diatas merupakan norma dasar. Di sini pendapat Hart agak mirip dengan Kelsen, dalam membahas tentang Grundnorm. Menurut Hart, norma dasar ini hanya berhubungan dengan pandangan ekstern terhadap hukum dan dianggap sekadar suatu kenyataan. Jadi tidak mengikat secara batiniah seperti Grundnorm.
            Dalam memandang materi hukum, Hart berpendapat, bahwa materi hukum diturunkan dari prinsip-prinsip moral, termasuk prinsip dari kenyataan hidup tertentu. Sekalipun demikian, sebagaimana penganut Positivisme Hukum, Hart membedakan secara tegas antara hukum (dalam arti das sein) dan moral (das sollen). Adapun yang disebut hukum, hanyalah menyangkut aspek formal. Artinya, suatu hukum dapat saja disebut hukum, walaupun secara material tidak layak untuk ditaati karena bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
            Buku Hart yang diketahui berjudul The Concept of Law.

Julius Stone
            Julius Stone memandang hukum sebagai suatu kenyataan social. Makna dari kenyataan social ini dapat ditangkap melalui suatu penyidikan logis-analitis, sebagaimana telah dipraktekkan dalam mahzab hukum Austin dan kawan-kawan. Akan tetapi, niat Stone menjangkau lebih jauh lagi. Stone bermaksud mengerjakan suatu ajaran tentang keadilan yang menjadi ukuran bagi tata hukum yang berlaku. Hal ini merupakan kemajuan, sebab secara tradisional dalam mahzab hukum analitis norma-norma hukum sama sekali tidak dipelajari (Huijbers, 1988:191).
            Stone kemudian mengembangkan metode penyelidikan hukum tersendiri, yang bersifat insterdisipliner, dengan memanfaatkan hasil penelitian dalam logika, sejarah, psikologi, dan sosiologi. Tujuan penggunaan semata-mata untuk praktis belaka agar memudahkan orang mempelajari atau menyelidiki hukum.
            Pandangan Stone tentang hukum tidak jauh berbeda dengan Hart. Ia juga berpendapat bahwa hukum harus dibedakan dari moral. Hukum adalah semua aturan, baik yang mengandung aspek moral maupun tidak.
            Buku karya Stone yang terpenting berjudul The province and Function of Law, yang kemudian dikembangkan dalam tiga jilid, masing-masing berjudul : 1) Legal System and Lawyer’s Reasonings,  2) Human Law and Human Justice, 3) Social Dimensions of law and Justice.

John Rawls
            Rawls berpendapat bahwa prinsip-prinsip etika dapat menjadi dasar yang sungguh-sungguh bagi suatu masyarakat yanga dil (Salman, 1987:47). Rawls mengembangkan pemikirannya tentang masyarakat yang adil dengan teori keadilannya yang dikenal pula pula dengan teori Posisi Asli. Dalam mengembangkan teorinya, Rawls banyak terpengaruh oleh aliran Utilitarianisme.
            Buku Rawls yang sangat terkenal berjudul A Theory of Justice.

Pragmatic Legal Realism
            Pragmatic Legal Realism sedikit berbeda dengan pandangan Realisme. Keduanya sama-sama berangkat dari fakta-fakta dan menolak penggunaan abstraksi dalam menyelesaikan suatu masalah.
            Menurut penganut Pragmatic Legal Realism, hukum harus meninggalkan dalil-dalil yang bersifat universal, dan diganti dengan logika yang fleksibel dan ekspremental. Hukum jangan bertolak dari prinsip-prinsip yang tetap, sebaliknya harus mulai dari masalah dan situasi yang terkadang sangat kabur. Hanya dengan berpikir seperti itulah, hukum dapat digunakan sebagai alat untuk memperbaharui masyarakat (Roestandi, 1987:105-106).
            Pragmatic Legal Realism dengan demikian berpendapat, bahwa ketentuan-ketentuan hukum tidak bekerja sebagaimana dinyatakan law in the book. Untuk itu perlu ada pendekatan interdisipliner terhadap hukum, khususnya ilmu-ilmu tentang perilaku manusia, seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, dan krimonomogi. Dengan penyelidikan terhadap fakta-fakta social tersebut dapat dihubungkan antara apa yang dikehendaki hukum dan fakta-fakta (realita) kehidupan social. Semua itu diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif.
            Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim. John Lhipman, All the law is judge made law, semua yang dimaksud dengan hukum adalah putusan hakim. Seperti diungkapkan Satjipto Rahardjo (1982:169) pkoko-pokok pemikiran aliran ini adalah sebagai berikut :
  1. Hendaknya konsepsi harus menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan;
  2. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan sosial;
  3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum dan karenanya selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum menghadapi problem-problem social yang ada;
  4. Guna keperluan studi untuk sementara harus ada pemisahan antara is dengan ought;
  5. Tidak mempercayai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu, sesudah mencukupi dan menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh pengadilan. Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan mereka terhadap hukum;
  6. Sehubungan dengan butir diatas, mereka juga menolak teori tradisional, bahwa peraturan hukum itu, merupakan faktor utama dalam mengambil keputusan;
  7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit, sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu, meliputi situasi-situasi yang banyak dan berlainan, oleh karena itu ia bersifat umum, tidak konkrit dan tidak nyata.
  8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektivitas dan kemacetannya untuk menemukan efek-efek tersebut.
Tokoh-tokoh utama Pragmatic Legal Realism adalah Charles Sanders piece dan john Dewey.

Charles Sanders Piere (1839-1914)
            Piere disebut-sebut sebagai orang pertama yang memulai pemikrian pragmatisme ini, walaupun ia juga menyebutkan jasa seorang ahli hukum sahabatnya, Nicholas St. John Green. Dari Piere kemudian muncul nama-nama William James, John Dewey, george mead, dan Pragmatis dari Inggris, F.S.C. Schiller.
            Pragmatis menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoritis yang benar. Oleh karena itu, ide-ide perlu diselidiki dalam praktik hidup. Hal ini diuraikan oleh Piere dalam makalahnya berjudul How to make Our Ideas Clear? (1878). Menurut Peirce, ide-ide diterangkan dengan jalan analitis. Metode analitis ini harus digunakan secara fungsional, yakni dengan menyelidiki seluruh konteks atau suatu pengertian dalam praktik hidup. Bagaimana pengertian tertentu ditanggapi dalam suatu situasi tertentu? Maka kebenaran merupakan hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu tepatlah, bahwa kata pragmatis dipakai oleh Peirce dalam arti empiris atau eksperimental. Dimengerti juga apa yang dikatakan James, yakni bahwa pragmatisme adalah suatu empirisme radikal (Huijbers, 1988:175).

John Dewey (1859-1952)
            Dewey termasuk salah satu peletak realisme dalam hukum yang penting. Sebagaimana dikutip oleh Friedmann (1990:190) dari artikel Dewey berjudul Logical method of Law, inti ajaran Dewey adalah bahwa logika bukan berasal dari kepastian-kepastian dari prinsip-prinsip teoritis, seperti silogisme, tetapi suatu studi tenntang kemungkinan-kemungkinan. Logika adalah teori tentang penyelidikan mengenai akibat-akibat yang mungkin terjadi, suatu proses dalam aman prinsip umum hanya bisa dipakai sebagai alat yang dibenarkan oleh pekerjaan yang dikerjakan. Kalau diterapkan pada proses hukum, ini berarti bahwa prinsip-prinsip umumnya telah ditetapkan sebelumnya harus dilepaskan untuk logika yang lebih eksperimental dan luwes. Ahli hukum tidak mengambil konklusi-konklusinya dari prinsip-prinsip umum. Ia mulai dengan keadaan yang penuh problema da sering membingungkan, proses untuk membuatnya jelas meliputi pemilihan persoalan-persoalan tertentu. Dengan penentuan masalhnya, kemungkinan pemecahannya menjadi jelas bagi penyelidik (seperti hakim). Karena ahli hukum belajar lebih banyak dari fakta-fakta dalam kasus, ia dapat mengubah pemilihan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan dalam kasus. Premis-premis dan kesimpulan-kesimpulan adalah dua cara untuk menyatakan hal yang sama. Dengan demikian hukum adalah proses eksperimental dimana factor logika hanya salah satu dari faktor-faktor yang utama untuk menarik kesimpulan tertentu. Dewey juga menekankan bahwa penggantian pendekatan ini dengan pendekatan positivisme logis, penting bagi masyarakat. Pemikiran  yang eksperimental dan fleksibel dalam hukum dapat mengubahnya menjadi alat yang tetap, aman, dan masuk akal untuk perbaikan sosial.
            Karya-karya penting dari Dewey antara lain 1) Logic the Theory of Inquiry, dan 2) My Philosophy of Law.

  1. Freirechtslehre
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Menurut Achmad Roestandi (1987:109), aliran ini menolak sama sekali penggunaan logika dalam penemuan hukum. Dalam penentang terhadap Positivisme Hukum itu, Freirechtslehre sejalan dengan kaum realis di Amerika. Hanya saja, jika aliran Realisme menitikberatkan pada penganalisaan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, Freirechtslehre tidak puas dengan itu.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1991:158), penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang tidak merupakan peranan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tetap menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
Aliran ini muncul terutama di Jerman. Merupakan sisntesis dari proses dialetika antara ilmu hukum analitis dan ilmu hukum sosiologis (Friedmann, 1990a:147). Adapun yang dimaksud dengan ilmu hukum analitis oleh Friedmann adalah aliran yang dibawakan antara Austin, dan ilmu hukum sosiologis adalah aliran dari Ehrlich dan Pound.
Aliran hukum bebas ini berpendapat, hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematic. Seorang yang menggunakan penemuan hukum bebas tidak akan beperndirian : Saya harus memutuskan demikian karena bunyi undang-undang adalah demikian. Ia harus mendasarkan pada berbagai argument antara lain undang-undang.
Dari keterangan Sudikno Mertokusumo tersebut, tampak Freirechtslehre pun sebenarnya tidak menolak sama sekali penggunaan logika. Memang, sebagaimana diungkapkan oleh Friedmann (1990a:148), Freirechtslehre seperti halnya Sociologocal Jurisprudence meragukan kelengkapan logika hukum sebagai fiksi atau ilusi.
Friedmann (1990a:148) menyebutkan sejumlah eksponen utama Freirechtslehre sejumlah eksponen utama Freirechtslehre yaitu Ehrlich (1862-1922), Stampe Ernst Fuchs (1859-1929), dan herman Isay.
          Dalam bukunya Freire Rechtsfindung (1903), Ehrlich mendalilkan penemuan hukum secara bebas dalam sebuah kasus, kecuali untuk kasus-kasus yang hukumnya sudah jelas. Pengecualian ini, menurut Ehrlich, relative sedikit. Stampe, dlam bukunya Freirechtsbewegung (1991), menurut agar pengadilan berhak untuk mengubah hukum apabila hukum yang ada menghasilkan suatu malapetaka umum (Massenkalamitat). Kemudian, Fuch mengembangkan ajaran yang sangat kuat ciri politiknya. Dari ajaran-ajarannya dapat disebutkan antara lain ajaran tentang hak pengadilan untuk menguji keabsahan undang-undang, dan ajaran yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung mengenai resiko bersama antara majikan dan karyawan. Selanjutnya Herman Isay, menolak penemuan hukum berdasarkan suatu proses rasional. Menurutnya, penemuan hukum merupakan hukum berdasarkan suatu proses intuitif yang dituntut oleh perasaan-perasaan dan prasangka-prasangka tertentu, sedangkan alasan logis digantikan sebagai pemikiran sesudahnya untuk proses naluriah itu, dan pakai untuk menyakinkan akan adanya dunia yang lain.