Keadilan sarang laba-laba hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap...
Sebarkan benih keadilan di tanah gersang, sirami dengan air ketulusan dari samudra atlantik...

Minggu, 18 Desember 2011

KORUPSI DI INDONESIA DAN STRATEGI PENANGGULANGANNYA

Pendahuluan
Korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun masyarakat, terlebih di negara kecil dan berkembang seperti Indonesia. Padahal, masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah menciderai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang semestinya diperuntukkan bagi pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi asing. Dengan kata lain, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja ekonomi Indonesia, sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan. 

A. Paradigma Masyarakat
Fenomena korupsi ini telah berdampak pada tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan serta buruknya pelayanan publik. Tentunya masyakat menganggap bahwa tersangka/pelaku korupsi harus dihukum bukan malah sebaliknya dibebaskan. Akan tetapi menurut pengamatan KPK Watch Indonesia kurang dari dua tahun pasca lahirnya UU Pengadilan Tipikor, sudah 40 terdakwa kasus korupsi yang dibebaskan Pengadilan Tipikor di daerah. Ke-40 terdakwa korupsi yang divonis bebas atau lepas tersebut terdiri dari 14 orang di Pengadilan Tipikor Samarinda, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor Surabaya, dan 4 orang di Pengadilan Tipikor Bandung.

Hal tersebut tentunya membuat masyakat bertanya-tanya pada penegakan hukum di Indonesia, mengapa para koruptor kemudian dibebaskan bukan malah dihukum berat. Ada apa dengan hukum Indonesia? Perlu diketahui bersama bahwa tidak semua tersangka korupsi yang dijadikan tersangka oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi harus seketika dihukum, hal yang perlu diperhatikan ada beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui dan menjadi pertimbangan Hakim untuk mententukan seseorang tersangka korupsi benar melakukan tindak pidana korupsi atau tidak. Jika memang unsur-unsur tindak pidana terbukti dihadapan pengadilan maka tentunya tersangka korupsi akan dihukum akan tetapi jika tersangka tidak terbukti maka tentunya Hakim akan membebaskan tersangka dari segala tuntutan. Paradigma inilah yang harus dibenahi dan ditata di kalangan masyarakat sehingga masyarakat tidak terjebak dalam pemikiran yang keliru bahwa siapapun pelaku koruptor harus dihukum tidak boleh dibebaskan.   

B. Faktor Penyebab Korupsi
Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan di daerah adalah faktor politik dan kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya. 

Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. 

Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara. 

Faktor yang keempat adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif. 

Faktor yang kelima adalah penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia khususnya bagi pelaku tindak pidana korupsi menjadi permasalahan saat ini, korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) seharusnya penanganan korupsi harus dengan cara luar biasa pula. Untuk itulah, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutkan sebagai suatu lembaga super (super body).

B. Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime-Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala atau “berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di dunia, termasuk di Indonesia dan daerah-daerah. 

Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi mislanya kasus korupsi di Polri ditahun 2011 sebesar 37,8 juta per kasus dan untuk tahun 2012 akan naik menjadi 68 juta per kasus sedangkan untuk Kejaksaan ditahun 2011 sebesar 48,6 juta per kasus dan untuk tahun 2012 naik menjadi 81 juta per kasus. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri yang dikategorikan sebagai lembaga super body mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai dengan penuntutan pada tahun 2011 sebesar 575 miliar dan ditahun 2012 akan naik menjadi 635 miliar. Berita buruk yang kedua adalah kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program pemberantasan korupsi. Berita buruk yang ketiga adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi, hal ini tentunya membuat lembaga penegak hukum menjadi kurang profesional dan proporsional dalam menjalankan tugasnya. Berita buruk yang keempat adalah rendahnya insentif dan gaji para pejabat publik. 

Diluar masalah-masalah di atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya pemberantasan korupsi di daerah. Di antara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (i) tidak jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii) lemahnya dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk dijadikan saksi/memberikan kesaksian. Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan integritas moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya budaya enggan untuk menerapkan budaya malu.

Selain itu masih banyak kendala yang dihadapi antara lain 1) Keterbatasan kemampuan KPK (kuantitas dan kualitas personel), dimana jumlah personel KPK sangat terbatas sekira hanya ada 160 penindak sedangkan kasus yang dihadapi/dilaporkan ribuan, sehingga dengan sendirinya dapat diperkirakan masih banyak kasus korupsi yang tidak sempat ditangani oleh KPK. 2) Besarnya peluang praktek korupsi akibat kelemahan kendali sistem keuangan negara (Misalnya : perpajakan, ekspor-impor, pertambangan, kehutanan, perikanan dan sebagainya); 3) Besarnya kekuatan yang melakukan intervensi terhadap penindakan korupsi yang dilakukan oleh KPK ataupun unsur lainnya; 4) Banyaknya kasus yang meresahkan masyarakat, namun tidak sampai tuntas penanganannya dan inipun menjadi bahan polemik yang semakin berkembang dengan arah yang semakin menyulitkan penaganan/pemberantasan korupsi misalnya kasus century, kasus wisma atlet dan kasus nazaruddin; 5) Masih adanya tindakan petugas KPK atau unsur lainnya yang kurang profesional dan proporsional, sehingga mengakibatkan benturan, proses dan hambatan bagi penaganan kasus korupsi karena fokus perhatian menjadi beralih kepada masalah untuk mengklarifikasi tindakan yang dinilai kurang profesional; 

C. Strategi Penanggulangan Korupsi
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu :

1.  Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2.  Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3.  Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi. 

Selain itu beberapa tujuan yang mesti akan dicapai dengan strategi-strategi yang dikelompokkan sebagai berikut :

1.      Pengembangan Kelembagaan, dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi yang terdiri  atas :
a.       Pembentukan penyidik independen KPK, yang tidak berasal dari Institusi Kepolisan dan Kejaksaan;
b.      Penyusunan struktur organisasi dan kode etik;
c.       Penyusunan rencana strategi dan rencana kerja
d.      Penyusunan anggaran dan prosedur operasi standar;
e.       Penyusunan sistem manajemen keuangan dan sumber daya manusia;
f.       Penyusunan mekanisme pengawasan internal;
g.      Penyediaan peralatan dan fasilitas;

2.      Pencegahan, dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi terdiri atas :
a.       Sosialisasi penyusunan sistem pelaporan pengaduan masyarakat;
b.      Sosialisasi penyusunan sistem pelaporan gratifikasi;
c.       Peningkatan efektifitas sistem pelaporan kekayaan penyelenggaraan negera;
d.      Pengkajian dan penyampaian saran perbaikan atas sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat yang berindikasikan korupsi;

3.      Partisipasi dan Keikutsertaan Masyarakat, dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi terdiri dari :
a.       Memberikan perlindungan hukum dan pemberian penghargaan tyerhadap masyarakat yang menyampaikan informasi atau melaporkan kasus tindak pidana korupsi;
b.      Pendidikan dan penyeluhan serta pelaksanaan kampanye anti korupsi nasional yang terintegrasi dengan diarahkan untuk membenruk budaya anti korupsi;
c.       Pengembangan hubungan kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan, sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha, lembaga swadaya amsyarakat (LSM) dan lain-lain disertai dengan perumusan peran masing-masing dalam upaya pemberantasan korupsi;
d.      Pengembangan dan penyediaan akses kepada publik terhadap informasi yang berkaitan dengan korupsi;

4.      Penindakan, dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi yang terdiri dari :
a.       Target penindakan : Para koruptor kelas kakap dan aparat penegak hukum yang korup, termasuk aparat militer yang korup;
b.      Pengembangan sistem dan prosedur peradilan pidana korup[si yang ditangani langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi;
c.       Pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutatan perkara tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi;
d.      Pemerataan aktivitas-aktivitas yang berindikasikan tindak pidana korupsi;

5.      Hukuman, dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi yang terdiri dari :
a.       Hukuman dijatuhkan seumur hidup;
b.      Hukuman dijatuhkan hukuman mati;
c.       Hukuman diasingkan dalam masyarakat;
d.      Hukuman dimiskinkan;

Kesimpulan
Terkait dengan berbagai strategi dan pendekatan pemberantasan korupsi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, upaya-upaya tersebut perlu pula ditunjang dengan pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah-langkah kampanye anti korupsi, seperti kampanye Pemberantasan Korupsi yang disponsori oleh BAPPENAS ini. Kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power), dan institusi-institusi kenegaraan. Dikatakan sebagai institusi-institusi kenegaraan karena pada prinsipnya korupsi di Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai persoalan eksekutif saja, melainkan sudah terkontaminasi terhadap institusi-institusi kenegaraan yang lain, baik legislatif, yudikatif, lembaga non pemerintah, maupun lembaga-lembaga kenegaraan lainnya. Dengan demikian, pendekatan sistemik yang ditunjang dengan pendekatan non-penal ini harus diartikan sebagai sikap antisipasi oleh sistem institusi kenegaraan secara komprehensif. Di samping itu sistem penegakan hukum di Indonesia harus lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan perlindungan terhadap Whistle blower dan mempercayakan dan/atau meningkatkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menangani kasus korupsi di Indonesia. 

Keadilan sarang laba-laba hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap
.

Salam Anti Korupsi...!!! KPKWATCH INDONESIA…!!!

DAFTAR PUSTAKA
Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank, 1997.

Langseth, Petter, “Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2000.

Dye, Kenneth M. dan Stapenhurst R., “Pillars of Integrity: The Importance of Supreme Audit Institutions in Curbing Corruption”, dimuat dalam EDI Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank, 1998.

Irwan, Alexander, “Clean Government dan Budaya Bisnis Asia”, dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1. No. 1, Januari - Maret 2000.

Senoadji , Indriyanto, “Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian”, Penerbit Konsultan Hukum Prof. Seno Adji dan Rekan, Jakarta, 2006.


Resha Agriansyah, SH, Direktur Korupsi dan Politik KPKWATCH INDONESIA, disampaikan dalam Diskusi “Bersatu Kita Selamatkan Negara Dengan Melawan Korupsi”, Jum’at, 9 Desember 2011, bertempat di Gedung Djoang 45, Jakarta.