Pendahuluan
Korupsi benar-benar telah menjadi permasalahan
akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan negara maupun
masyarakat, terlebih di negara kecil dan berkembang seperti Indonesia. Padahal,
masyarakat pada umumnya bukannya tidak menyadari bahwa korupsi telah
menciderai rakyat miskin dengan terjadinya penyimpangan dana yang semestinya
diperuntukkan bagi pembangunan dan kesejahteraan mereka. Korupsi juga telah
mengikis kemampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan dan kebutuhan dasar
bagi rakyatnya, sehingga pemerintah tidak mampu lagi menyediakan kebutuhan
pangan bagi masyarakatnya secara adil. Lebih jauh lagi, korupsi bahkan telah
meruntuhkan demokrasi dan penegakan hukum, mengakibatkan terjadinya pelanggaran
terhadap Hak Azasi Manusia, mengacaukan pasar, mengikis kualitas kehidupan dan
memicu terjadinya kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman lainnya
terhadap keamanan masyarakat, serta menghambat masuknya bantuan dan investasi
asing. Dengan kata lain, korupsi merupakan salah satu elemen yang turut
memberikan kontribusi bagi terjadinya keterbelakangan dan buruknya kinerja
ekonomi Indonesia, sekaligus merupakan salah satu penghambat utama bagi
pembangunan dan upaya pengentasan kemiskinan.
A. Paradigma
Masyarakat
Fenomena korupsi ini
telah berdampak pada tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan, kesehatan serta buruknya pelayanan publik. Tentunya masyakat
menganggap bahwa tersangka/pelaku korupsi harus dihukum bukan malah sebaliknya
dibebaskan. Akan tetapi menurut pengamatan KPK Watch Indonesia kurang dari dua
tahun pasca lahirnya UU Pengadilan Tipikor, sudah 40 terdakwa kasus korupsi
yang dibebaskan Pengadilan Tipikor di daerah. Ke-40 terdakwa korupsi yang
divonis bebas atau lepas tersebut terdiri dari 14 orang di Pengadilan Tipikor
Samarinda, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan
Tipikor Surabaya, dan 4 orang di Pengadilan Tipikor Bandung.
Hal tersebut tentunya
membuat masyakat bertanya-tanya pada penegakan hukum di Indonesia, mengapa para
koruptor kemudian dibebaskan bukan malah dihukum berat. Ada apa dengan hukum
Indonesia? Perlu diketahui bersama bahwa tidak semua tersangka korupsi yang
dijadikan tersangka oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi
Pemberantasan Korupsi harus seketika dihukum, hal yang perlu diperhatikan ada
beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui dan menjadi pertimbangan Hakim
untuk mententukan seseorang tersangka korupsi benar melakukan tindak pidana
korupsi atau tidak. Jika memang unsur-unsur tindak pidana terbukti dihadapan
pengadilan maka tentunya tersangka korupsi akan dihukum akan tetapi jika
tersangka tidak terbukti maka tentunya Hakim akan membebaskan tersangka dari
segala tuntutan. Paradigma inilah yang harus dibenahi dan ditata di kalangan
masyarakat sehingga masyarakat tidak terjebak dalam pemikiran yang keliru bahwa
siapapun pelaku koruptor harus dihukum tidak boleh dibebaskan.
B. Faktor Penyebab
Korupsi
Faktor penyebab korupsi yang paling signifikan
di daerah adalah faktor politik dan
kekuasaan, dalam arti bahwa korupsi di daerah paling banyak dilakukan oleh
para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan
kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi
maupun untuk kepentingan kelompok dan golongannya.
Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini
tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan.
Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan
dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat
nepotisme, baik di sektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam
penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan
penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara.
Faktor yang keempat adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda
terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat publik (eksekutif
maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut
menumbuh-suburkan budaya korupsi di daerah-daereah. Fungsi kontrol yang
semestinya dijalankan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya seringkali
tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun seringkali
terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan
oleh eksekutif.
Faktor yang kelima adalah penegakan hukum. Lemahnya penegakan
hukum di Indonesia khususnya bagi pelaku tindak pidana korupsi menjadi
permasalahan saat ini, korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luar
biasa (extra ordinary crime) seharusnya penanganan korupsi harus dengan cara
luar biasa pula. Untuk itulah, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang
mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutkan sebagai
suatu lembaga super (super body).
B.
Masalah-Masalah Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi
UNODC (United Nations
Office on Drugs and Crime-Kantor PBB Untuk Masalah Obat-Obatan Terlarang
dan Tindak Kejahatan) mengemukakan bahwa setidak-tidaknya ada empat kendala
atau “berita buruk” (bad news) bagi upaya pemberantasan korupsi di
dunia, termasuk di Indonesia dan daerah-daerah.
Berita buruk yang pertama adalah kurangnya dana yang
diinvestasikan pemerintah untuk program pemberantasan korupsi mislanya kasus
korupsi di Polri ditahun 2011 sebesar 37,8 juta per kasus dan untuk tahun 2012
akan naik menjadi 68 juta per kasus sedangkan untuk Kejaksaan ditahun 2011
sebesar 48,6 juta per kasus dan untuk tahun 2012 naik menjadi 81 juta per
kasus. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri yang dikategorikan sebagai
lembaga super body mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai dengan penuntutan
pada tahun 2011 sebesar 575 miliar dan ditahun 2012 akan naik menjadi 635
miliar. Berita buruk yang kedua adalah
kurangnya bantuan yang diberikan oleh negara-negara donor bagi program
pemberantasan korupsi. Berita buruk yang ketiga
adalah kurangnya pengetahuan dan pengalaman aparat-aparat penegak hukum dalam
memberantas korupsi, hal ini tentunya membuat lembaga penegak hukum menjadi
kurang profesional dan proporsional dalam menjalankan tugasnya. Berita buruk
yang keempat adalah rendahnya
insentif dan gaji para pejabat publik.
Diluar masalah-masalah di
atas, ada pula beberapa hal lain yang turut menghambat upaya pemberantasan
korupsi di daerah. Di antara kelemahan-kelemahan tersebut adalah: (i) tidak
jelasnya pembagian kewenangan antara jaksa, polisi dan KPK dan tidak adanya
prinsip pembuktian terbalik dalam kasus korupsi; (ii) lemahnya dan tidak
jelasnya mekanisme perlindungan saksi, sehingga seseorang yang dianggap
mengetahui bahwa ada penyelewengan di bidang keuangan tidak bersedia untuk
dijadikan saksi/memberikan kesaksian. Hambatan yang kedua berkaitan dengan kurangnya transparansi lembaga eksekutif dan
legislatif terhadap berbagai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara.
Mekanisme pemeriksaan terhadap pejabat–pejabat eksekutif dan legislatif juga
terkesan sangat birokratis, terutama apabila menyangkut izin pemeriksaan
terhadap pejabat-pejabat yang terindikasi korupsi. Hambatan yang ketiga berkaitan dengan integritas
moral aparat penegak hukum serta ketersediaan sarana dan prasarana penunjang keberhasilan
mereka dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Hambatan yang keempat berkaitan dengan masalah
kultur/budaya, dimana sebagian masyarakat telah memandang korupsi sebagai
sesuatu yang lazim dilakukan secara turun-temurun, disamping masih kuatnya
budaya enggan untuk menerapkan budaya malu.
Selain itu masih banyak
kendala yang dihadapi antara lain 1)
Keterbatasan kemampuan KPK (kuantitas dan kualitas personel), dimana jumlah
personel KPK sangat terbatas sekira hanya ada 160 penindak sedangkan kasus yang
dihadapi/dilaporkan ribuan, sehingga dengan sendirinya dapat diperkirakan masih
banyak kasus korupsi yang tidak sempat ditangani oleh KPK. 2) Besarnya peluang praktek korupsi akibat kelemahan kendali sistem
keuangan negara (Misalnya : perpajakan, ekspor-impor, pertambangan, kehutanan,
perikanan dan sebagainya); 3)
Besarnya kekuatan yang melakukan intervensi terhadap penindakan korupsi yang
dilakukan oleh KPK ataupun unsur lainnya; 4)
Banyaknya kasus yang meresahkan masyarakat, namun tidak sampai tuntas
penanganannya dan inipun menjadi bahan polemik yang semakin berkembang dengan
arah yang semakin menyulitkan penaganan/pemberantasan korupsi misalnya kasus
century, kasus wisma atlet dan kasus nazaruddin; 5) Masih adanya tindakan petugas KPK atau unsur lainnya yang kurang
profesional dan proporsional, sehingga mengakibatkan benturan, proses dan
hambatan bagi penaganan kasus korupsi karena fokus perhatian menjadi beralih
kepada masalah untuk mengklarifikasi tindakan yang dinilai kurang profesional;
C. Strategi
Penanggulangan Korupsi
Proses penegakan hukum oleh
aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan
perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang
cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, Petter Langseth
mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan
untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu :
1. Memutus serta merampingkan (streamlining)
jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu
kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau
posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan
profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan
integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang
maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para
pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus
diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the
law;
3. Para penentu kebijakan, baik di
bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan
visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi
dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain itu beberapa tujuan
yang mesti akan dicapai dengan strategi-strategi yang dikelompokkan sebagai
berikut :
1.
Pengembangan Kelembagaan, dijabarkan dalam sejumlah
rencana aksi yang terdiri atas :
a.
Pembentukan penyidik
independen KPK, yang tidak berasal dari Institusi Kepolisan dan Kejaksaan;
b.
Penyusunan struktur
organisasi dan kode etik;
c.
Penyusunan rencana strategi
dan rencana kerja
d.
Penyusunan anggaran dan
prosedur operasi standar;
e.
Penyusunan sistem manajemen
keuangan dan sumber daya manusia;
f.
Penyusunan mekanisme
pengawasan internal;
g.
Penyediaan peralatan dan
fasilitas;
2.
Pencegahan, dijabarkan dalam sejumlah rencana
aksi terdiri atas :
a.
Sosialisasi penyusunan
sistem pelaporan pengaduan masyarakat;
b.
Sosialisasi penyusunan
sistem pelaporan gratifikasi;
c.
Peningkatan efektifitas
sistem pelaporan kekayaan penyelenggaraan negera;
d.
Pengkajian dan penyampaian
saran perbaikan atas sistem administrasi pemerintahan dan pelayanan masyarakat
yang berindikasikan korupsi;
3.
Partisipasi dan Keikutsertaan Masyarakat,
dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi terdiri dari :
a.
Memberikan perlindungan
hukum dan pemberian penghargaan tyerhadap masyarakat yang menyampaikan
informasi atau melaporkan kasus tindak pidana korupsi;
b.
Pendidikan dan penyeluhan
serta pelaksanaan kampanye anti korupsi nasional yang terintegrasi dengan
diarahkan untuk membenruk budaya anti korupsi;
c.
Pengembangan hubungan
kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan lembaga-lembaga
kemasyarakatan, sosial, keagamaan, profesi, dunia usaha, lembaga swadaya
amsyarakat (LSM) dan lain-lain disertai dengan perumusan peran masing-masing
dalam upaya pemberantasan korupsi;
d.
Pengembangan dan penyediaan
akses kepada publik terhadap informasi yang berkaitan dengan korupsi;
4.
Penindakan, dijabarkan dalam sejumlah rencana
aksi yang terdiri dari :
a.
Target penindakan : Para koruptor
kelas kakap dan aparat penegak hukum yang korup, termasuk aparat militer yang
korup;
b.
Pengembangan sistem dan
prosedur peradilan pidana korup[si yang ditangani langsung oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi;
c.
Pelaksanaan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutatan perkara tindak pidana korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi;
d.
Pemerataan
aktivitas-aktivitas yang berindikasikan tindak pidana korupsi;
5.
Hukuman, dijabarkan dalam sejumlah rencana aksi yang terdiri
dari :
a.
Hukuman dijatuhkan seumur
hidup;
b.
Hukuman dijatuhkan hukuman
mati;
c.
Hukuman diasingkan dalam
masyarakat;
d.
Hukuman dimiskinkan;
Kesimpulan
Terkait dengan berbagai
strategi dan pendekatan pemberantasan korupsi sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, upaya-upaya tersebut perlu pula ditunjang dengan pendekatan
non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah-langkah kampanye anti korupsi,
seperti kampanye Pemberantasan Korupsi yang disponsori oleh BAPPENAS ini.
Kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers
(sebagai social power), dan institusi-institusi kenegaraan. Dikatakan
sebagai institusi-institusi kenegaraan karena pada prinsipnya korupsi di
Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai persoalan
eksekutif saja, melainkan sudah terkontaminasi terhadap institusi-institusi
kenegaraan yang lain, baik legislatif, yudikatif, lembaga non pemerintah,
maupun lembaga-lembaga kenegaraan lainnya. Dengan demikian, pendekatan sistemik
yang ditunjang dengan pendekatan non-penal ini harus diartikan sebagai sikap antisipasi
oleh sistem institusi kenegaraan secara komprehensif. Di samping itu sistem
penegakan hukum di Indonesia harus lebih ditingkatkan lagi dengan memberikan
perlindungan terhadap Whistle blower dan
mempercayakan dan/atau meningkatkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi untuk
menangani kasus korupsi di Indonesia.
Keadilan sarang laba-laba hanya mampu
menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap.
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap.
Salam Anti Korupsi...!!! KPKWATCH
INDONESIA…!!!
DAFTAR
PUSTAKA
Langseth, Petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, “The Role of National Integrity System in
Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Development
Institute of the World Bank, 1997.
Langseth, Petter, “Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam Jurnal
Reformasi Ekonomi, Vol. 1 No. 1 Januari - Maret 2000.
Dye, Kenneth M. dan Stapenhurst R., “Pillars of Integrity: The Importance of
Supreme Audit Institutions in Curbing Corruption”, dimuat dalam EDI
Working Paper, The Economic Development Institute of the World Bank, 1998.
Irwan, Alexander, “Clean Government dan Budaya Bisnis Asia”, dalam Jurnal
Reformasi Ekonomi, Vol. 1. No. 1, Januari - Maret 2000.
Senoadji , Indriyanto, “Korupsi dan
Pembalikan Beban Pembuktian”, Penerbit Konsultan Hukum Prof. Seno Adji dan
Rekan, Jakarta, 2006.