Keadilan sarang laba-laba hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap...
Sebarkan benih keadilan di tanah gersang, sirami dengan air ketulusan dari samudra atlantik...

Minggu, 02 Januari 2011

Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali


Asas legalitas, yang panjangnya adalah nullum crimen (delictum), nulla poena sine praevia lege poenali, bersumber dari Bavarian Code di Jerman Tahun 1813. Asas ini ditulis dan dimasukkan ke dalam Bavarian Code oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Asas ini menggarisbawahi bahwa tiada seorang pun yang dapat dipidana tanpa ada hukum yang terlebih dahulu mengatur demikian. Asas yang merupakan ciri dari Eropa Kontinental ini merupakan lawan dari asas retroactive, yang artinya bahwa pemidanaan berlaku surut terhadap kejahatan yang belum diatur secara hukum pada saat dilakukan.
Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat, istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan yang dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris (1215) merupakan salah bentuk reaksi terhadap praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000 tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. [1]
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk melindungi hak individu, hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen penting perlindungan kemerdekaan individu saat berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
 Perlindungan terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan raja yang absolut. Asal gagasan asas legalitas berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris, yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum (rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di Inggris adalah John Locke (1760).[2]
Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk perlawanan atas kesewenang-wenangan raja Louis XIV, dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau Dus Contrat Social, ou principes du droit politique (1762) memperkenalkan pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut perkembangan asas legalitas di Perancis juga dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat George Washington, yang membawa pemikiran asas legalitas dari Amerika ke Perancis.
Di Amerika, ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam, peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789). Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte (1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah”.[3] Beccaria, dalam Dei delitti e drllee pene (Over misdaden en straffen 1764) juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana.[4]
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang sarjana Jerman, berpendapat bahwa merupakan suatu asas yang penting bagi pemberian ancaman hukuman di dalam hukum pidana, yaitu bahwa setiap penjatuhan hukuman oleh hakim haruslah merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan menurut undang-undang, yakni dengan maksud menjamin hak-hak yang ada pada setiap orang. Dengan demikian, maka undang-undang itu harus memberikan suatu ancaman hukuman berupa suatu penderitaan kepada setiap orang yang melakukan suatu pelanggaran hukum. Von Feuebach mengemukakan tiga ketentuan yakni :[5]
1.      Nulla Poena Sine Lege, yang artinya bahwa setiap penjatuhan hukuman haruslah didasarkan pada suatu undang-undang pidana;
2.      Nulla Poena Sine Crimine, yang artinya bahwa suatu penjatuhan hukuman hanyalah dapat dilakukan, apabila perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang;
3.      Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya bahwa perbuatan yang telah diancam dengan hukuman oleh undang-undang itu apabila dilanggar dapat berakibat dijatuhkannya hukuman seperti yang diancamkan oleh undang-undang terhadap pelanggarannya;
Von Feuerbach kemudian merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.”Bahwa tidak delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts (1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach mengandung tiga pengertian : 1) Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang. 2) Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroactive).[6]
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen 1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental kepastian hukum dijunjung tinggi. Tujuan yang ingin dicapai dari asas legalitas itu sendiri adalah memperkuat kepastian hukum, menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh rule of law.[7]
Di satu sisi asas ini memang dirasa sangat efektif dalam melindungi hak-hak rakyat dari kesewang-wenangan penguasa. Namun, efek dari pemberlakuan ketentuan asas legalitas adalah, hukum kurang bisa mengikuti perkembangan pesat kejahatan. Ini menjadi kelemahan mendasar dari pemberlakuan asas legalitas. E Utrecht[8] mengatakan, asas legalitas kurang melindungi kepentingan-kepentingan kolektif (collectieve belangen), karena memungkinkan dibebaskannya pelaku perbuatan yang sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, paradigma yang dianut asas ini adalah konsep mala in prohibita (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena adanya peraturan), bukan mala in se (suatu perbuatan dianggap kejahatan karena tercela).[9]
Di Indonesia asas legalitas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling” yang artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri. Ketentuan pidana yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut mengandung tiga buah asas yang sangat penting, yaitu : 1) bahwa hukum pidana yang berlaku di Negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis; 2) bahwa undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut; dan 3) bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang pidana.[10]
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP juga menyatakan bahwa  undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita tidak dapat diberlakukan surut. Apabila undang-undang pidana kita tidak dapat diberlakukan surut, maka hal tersebut sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar. Oleh Karena undang-undang pidana yang berlaku di Negara kita, baik sebagai undang-undang pidana dalam arti material, tetap merupakan suatu undang-undang. Dan sebagai undang-undang sudah sewajarnya apabila ia terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur perundang-undangan di Indonesia.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perundang-undangan, dapat diatur dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang telah diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23 pada tanggal 23 April 1847, yang dalam kepustakaan Belanda biasanya disingkat A.B. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia diartikan ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan Indonesia.
Pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving menentukan bahwa : De wet verbindt alleen voor het toekomende en heft gene terugwerkende kracht artinya undang-undang itu hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut. Dari ketentuan tersebut dijelaskan bahwa suatu undang-undang pidana hanya dapat diberlakukan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu perbuatan yang terlarang oleh undang-undang pidana tersebut setelah undang-undang pidana yang bersangkutan dinyatakan diberlakukan.


     [1]  Mansor Faqih, Menegaskan kembali Komitemen HAM, dalam Jurnal Wacana Edisi 8 Tahun II 2001, hal. 4.
     [2] Bambang Purnomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 68-69.
     [3] Molejatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24.
     [4] Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
     [5] Molejatno, op.cit, hal 75.
     [6] Moeljatno, op.cit, hal. 25.
     [7] A Ahsin Thohari, Dimensi Historis Asas Retroaktif, dalam www.kompascybermedia.com, 19 Februari 2005, dikutip dari Muladi, 2002.
     [8] U. Utrecht, 1987, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal 10
     [9] Ibid.
     [10] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar