Keadilan sarang laba-laba hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap...
Sebarkan benih keadilan di tanah gersang, sirami dengan air ketulusan dari samudra atlantik...

Sabtu, 01 Januari 2011

KINERJA KPK MASIH DIPERTANYAKAN “ANTARA ADA DAN TIADA

Resha Agriansyah, SH - Direktur Korupsi dan Politik KPK Watch Indonesia
 
“Seperti halnya tikus, tak ada kata kenyang bagi para koruptor. Merampok harta Negara bagi mereka adalah hal yang biasa. Takkan pernah berhenti hingga harta negeri ini habis tak tersisa. Membiarkan manusia seperti ini sama saja dengan membiarkan Negara ambruk perlahan tanpa kompromi”

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31/1999) dan secara khusus diatur dalam UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 mengatur tugas dan wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara rinci tugas KPK diatur dalam Pasal 6 UU No. 30/2002, yaitu: (a). Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (b). Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (c). Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; (d). Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; (e). Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sejalan dengan tugas yang diemban oleh KPK, maka secara yuridis KPK diberikan wewenang : Pertama, Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Kedua, Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Ketiga, Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berkaitan dengan hal tersebut, hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 seperti telah disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari UU No. 30 Tahun 2002, KPK: (1). Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; (2). Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; (3). Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); (4). Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Dari penjelasan umum ini, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa KPK harus menjadikan kepolisian maupun kejaksaan sebagai ‘counter partner’ yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Hal ini dapat dipahami mengingat keberadaan KPK tidak sampai pada daerah-daerah terutama Kabupaten/Kota. Apabila KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sendiri akan mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan serta pembengkakan pembiayaan,  hal tersebutlah yang menjadi pertimbangan sehingga untuk penyidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi secara teknis dan praktis dengan tetap bekerjasama dan supervisi oleh KPK.

Demikian pula tentang fungsi KPK untuk tidak memonopoli penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta fungsi lainnya, yaitu sebagai pemicu dan pemberdaya institusi dan fungsi melakukan supervisi dan memantau instansi yang telah ada. Hal ini menandakan bahwa dalam hubungan fungsional antara KPK dengan kejaksaan dan/atau kepolisian akan tetap memberikan peran yang besar kepada kedua institusi penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) untuk tetap melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Selain itu dalam UU No. 30/2002 juga diberikan persyaratan berkaitan dengan perkara korupsi yang dapat diambil alih oleh KPK, yaitu: Pertama, Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; Kedua, Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; Ketiga, Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; Keempat, Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; Kelima, hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; Keenam, Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK juga diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang: Pertama, Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; Kedua, Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau. Ketiga, Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tetapi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Proses peradilan terhadap perkara tindak pidana korupsi dilaksanakan dengan menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 merupakan ketentuan khusus mengenai hukum acara pengadilan tindak pidana korupsi. Sedangkan KUHAP merupakan ketentuan yang bersifat umum dalam hukum acara pidana di peradilan umum. Dalam pelaksanaannya, ketiga undang-undang tersebut saling melengkapi. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dan dalam Pasal 39 ayat (1) dan Pasal 62 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002.

Ketentuan di atas menandakan berlakunya asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis, karena ketentuan yang tidak ditentukan lain dalam undang-undang yang bersifat khusus ini (Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002) akan tetap menggunakan ketentuan dalam undang-undang yang bersifat umum (KUHAP). Untuk itu dalam hal ditentukan lain oleh UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 30 Tahun 2002, maka hal yang sama yang diatur dalam Undang No. 8 Tahun 1981 tidak berlaku. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak ditentukan lain maka yang berlaku adalah ketentuan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981. Pengecualian atas ketentuan tertentu melalui penggunaan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis.

KPK sebagai organ yang menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maka dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan khusus (Lex Specialis) dan UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) sebagai ketentuan umum (Lex Generali).

Merujuk pada ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa KPK akan mengambil alih fungsi dan tugas kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkara-perkara korupsi tertentu. Oleh karena itu, terjadi perubahan besar dan mendasar dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang juga berarti perubahan di dalam hukum acara pidana, khususnya mengenai kasus-kasus tindak pidana korupsi. Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang sebelumnya bekerja di instansi Kepolisian dan Kejaksaan yang karena diangkat menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, maka mereka diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan.

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
UU No. 30/2002 secara jelas telah memberikan kewenangan kepada KPK yang sangat kuat dan besar untuk melakukan pencegahan serta pemberantasan korupsi secara sistemik dan menjadikan KPK sebagai tonggak utama dalam pemberantasan korupsi. Ironisnya, fakta menunjukan bahwa sampai dengan saat ini, pun setelah KPK lahir, korupsi di Indonesia semakin meningkat baik dari aspek kualitatif maupun kuantitatif. Bahkan saat ini, korupsi sudah merambah semakin luas mulai dari tingkat pusat sampai pada level desa dan sudah sangat menggerogoti lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Korupsi yang seakan-akan telah mendarah daging di Indonesia, membuat banyak orang merasa apatis dalam membasminya. Korupsi telah menjadi perilaku di hampir seluruh struktur pemerintahan dan bahkan institusi di luar struktur pemerintahan. Jelasnya korupsi secara perlahan namun meyakinkan telah menjadi mentalitas birokrasi pemerintah baik di pusat maupun yang berada di daerah-daerah.

Kasus-kasus korupsi menyebar ke semua daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sejumlah anggota DPR dan DPRD dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu contoh konkrit adalah Tindak korupsi politik (money politics) yang terjadi hampir dalam setiap peristiwa  pemilihan pejabat politik daerah, dari level desa hingga provinsi, aroma politik uang juga sangat kuat dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.


Tindak Pidana Korupsi, pertama dan terutama adalah tindakan yang terkait erat dengan kekuasaan. Meski ada keragaman dalam pendefinisian tentang korupsi, secara umum korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau sumberdaya publik untuk kepentingan pribadi. Berdasarkan pengertian tersebut terlihat jelas bahwa korupsi bukanlah tindakan kriminal biasa, mal administrasi dan mis manajemen, namun lebih merupakan kejahatan yang berhubungan dengan kekuasaan. Sebagai tindakan yang terkait erat dengan kekuasaan, korupsi bukanlah semata-mata perilaku yang bersifat individual. Korupsi bisa berbentuk lebih dari sekedar suap dan pemerasan tapi juga dapat berbentuk jejaring antara birokrat, politisi, aparat penegak hukum.

Ketika dunia penegakan hukum di Indonesia menggelinding dengan memasuki babak baru, ketika banyak kasus korupsi berhasil dibongkar dan pelakunya diseret ke gerigi besi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kondisi itu patut disyukuri masyarakat, karena hal itu merupakan sebuah keniscayaan bagi terciptanya keadilan dalam tatatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerja keras KPK mengungkap praktik korupsi telah mampu memberikan angin segar bagi terciptanya pondasi fundamental sistem hukum yang lebih baik dan kuat di Indonesia. Tindakan KPK yang tidak pandang bulu dalam menyeret pelaku korupsi atau  pencurian uang Negara membuat banyak masyarakat menaruh harapan besar kepada institusi penegak hukum yang dibentuk pasca reformasi tersebut.

Berbagai gebrakan KPK dalam membongkar praktik korupsi di tataran elit petinggi negara atau oknum penegak hukum merupakan sebuah prestasi membanggakan yang sulit ditandingi lembaga hukum lainnya. Berkaca dari itu, KPK memiliki niatan baik yang ingin melenyapkan segala bentuk tindak pidana korupsi di setiap institusi birokrasi pemerintahan. Di samping itu, KPK ingin menciptakan rasa keadilan hukum bagi masyarakat yang selama ini sudah muak melihat sepak terjang perilaku elit pejabat atau oknum penegak hukum yang dengan seenaknya sendiri menikmati uang negara, yang sejatinya digunakan untuk program rakyat. Masalahnya, selama itu pula masyarakat hanya bisa berharap terciptanya sistem hukum yang lebih baik dan keberadaan KPK menjawab segala keresahan masyarakat yang mengidamkan terciptanya penegakan hukum yang berkeadilan.

Bukannya apa, namun kinerja KPK yang getol memberantas korupsi membuat penegakan hukum menjadi lebih bertaji dan mempunyai taring dan menimbulkan dampak menakutkan bagi koruptor maupun orang yang akan melakukan korupsi. Kinerja KPK yang berani memenjarakan siapapun orang bersalah tanpa pandang bulu. Hal ini dapat dilihat antara tahun 2008-2009 KPK berhasil menyeret 11 orang Anggota DPR/DPRD, 1 orang Komisi Negara, 7 orang Dewan Gubernur/pejabat BI, 10 orang Kepala Daerah, 13 orang Duta Besar, pejabat Konsulat, Imigrasi, 16 orang pejabat Eselon, 3 orang pejabat BUMN, 16 orang Swasta dan 1 orang BPK. Ini merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi KPK. Untuk itu, ke depannya KPK harus bisa menjadi institusi yang lebih berani menggelorakan perang terhadap korupsi. KPK wajib melawan arus lembaga penegak hukum lainnya yang selama ini dikenal lembek dalam menangani kasus hukum yang melibatkan petinggi negara.

Namun, sangat disayangkan ternyata KPK juga memiliki point negatif dalam menjalankan fungsi dan wewenang KPK itu sendiri. Di satu sisi KPK berhasil memenjarakan siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu, namun di sisi lain KPK juga ternyata menyisahkan kisah pahit yang menciderai hati masyarakat. Misalnya saja pada kasus Aulia Pohan yang terbukti memperkaya orang lain dari uang Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar. Peruntukan uang sebesar itu dibagi dua bagian. Sebanyak Rp 68,5 miliar untuk membiayai bantuan hukum para pejabat BI dan Rp 31,5 miliar sisanya dibagikan kepada anggota BI untuk memuluskan proses pembahasan RUU BI. Kasus Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Negara sebesar Rp 30 miliar. Selain itu masih ada lagi kasus Bank Century yang saat ini semakin tidak jelas rimbanya, kasus Bank Century merugikan negara Rp 6,7 triliun. Dari keseluruhan kasus tersebut tidak diketahui di mana ujung penyelesaiannya. 

Berdasarkan pemaparan di atas KPK seolah  antara ada dan tiada dalam menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia. Realitas ini sangat disayangkan karena sebagai lembaga yang Super Body, KPK terkesan tebang pilih dalam mengungkap kasus korupsi. Buktinya, Selama 4 tahun umur KPK, lembaga ini hanya bisa menyentuh para pajabat negara dan mantan pejabat negara dari kalangan eksekutif (29 perkara). Sementara bidang lain yang juga rawan penyelewengan nyaris tidak diotak-atik. Lihat saja, selama 5 tahun, KPK hanya mengusut 10 kasus di sektor swasta, dua kasus yang melibatkan pengacara, lima kasus yudikatif (non-hakim). Sementara dari kalangan legislatif dan militer, tidak ada sama sekali. Buruknya kinerja KPK ini juga dapat dibuktikan dengan hasil kerja dari KPK yang hanya mampu mengembalikan kerugian negara ke kas negara hanya Rp 50,04 miliar. Padahal realisasi anggaran yang digunakan KPK dalam periode 2004-2006 itu mencapai Rp 247, 68 miliar.

Walaupun kinerja dari KPK terkesan tebang pilih dalam mengungkap kasus korupsi, namun tak bias dipungkiri bahwa keberadaan dari KPK masih sangat diharapkan. Oleh karena itu, diakhir penulis ingin memberikan kontribusi pemikiran, yakni: 1) Sangat relevan apabila ke depan harus segera dibentuk perwakilan KPK di daerah, yang bertugas untuk menangani kasus korupsi yang nilai kerugian negaranya di bawah Rp. 1 Milyar dan tidak kurang dari Rp 100 juta. 2) Disamping itu, sudah seharusnya pemimpin KPK terpilih harus benar-benar memiliki perspektif yang kuat sehingga dapat melihat secara lebih tajam persoalan mendasar dari merajalelanya korupsi. 3) Sudah seharusnya desain program dan kebijakan pemberantasan korupsi harus bercermin pada tipologi korupsi yang mendominasi. Artinya KPK bukan sekadar menjalankan tugas dan kewajiban memberantas korupsi sebagaimana mandat undang-undang tapi tanpa bekal yang cukup memadai. 4) KPK perlu memiliki penyidik independen untuk dapat melepaskan ketergantungan KPK terhadap pihak kepolisian, terutama jika polisi menarik penyidiknya sewaktu-waktu. Dengan demikian diharapkan kinerja KPK dapat lebih maksimal lagi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indoensia.

lihat : http://kpkwatch.org/indonesia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar