Keadilan sarang laba-laba hanya mampu menjaring serangga-serangga kecil,
tetapi akan robek manakala yang akan di jaring adalah serangga kelas kakap...
Sebarkan benih keadilan di tanah gersang, sirami dengan air ketulusan dari samudra atlantik...

Minggu, 02 Januari 2011

Sita Jaminan

Ketentuan sita jaminan terdapat pada pasal 227 HIR (RIB-S.1941 No. 44). Pada ayat (1) pasal 227 tersebut, dinyatakan bahwa: “Jika terdapat persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya, atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.”

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami terlebih dahulu tujuan dari dikeluarkannya perintah sita jaminan. Pada pasal tersebut jelas tertulis tujuannya adalah “untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan…”.

Siapakah pihak dan apa hak yang dimaksudkan diatas? “Pihak” yang dimaksudkan ketentuan pasal tersebut adalah Pihak yang memiliki piutang (kreditur) terhadap pihak yang dimintakan sita jaminan. Sedangkan “hak” yang dimaksudkan pada pasal tersebut adalah hak kreditur, baik sebagai kreditur biasa ataupun kreditur yang diistimewakan.

Untuk memahami “hak” tersebut maka kita harus melihat ketentuan pasal 1131 BW yang menyatakan bahwa, setiap kreditur mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari.

Jaminan berdasar pasal 1131 BW tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh kreditur. Sedangkan pasal 1132 BW, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimwa dan didahulukan, misalnya dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal  dengan Hipotik.

Dengan demikian jelaslah, bahwa setiap kreditur memiliki hak jaminan atas piutangnya, baik yang berupa jaminan umum ataupun dapat pula jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan.

Kembali kepada tujuan dari sita jaminan yang sudah kita bahas diatas. Tujuannya adalah untuk “..menjaga hak…” bukan menciptakan atau memberikan hak baru. Dengan demikian, oleh karena keseluruhan harta debitur, baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada adalah jaminan untuk keseluruhan kreditur, maka setiap kreditur berhak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas keseluruhan harta debitur baik yang telah dijaminan secara istimewa dan didahulukan ataupun tidak.

Dengan demikian, seorang kreditur yang tidak memiliki jaminan istimewa dan didahulukan, tetap dapat mengajukan permohonan sita jaminan atas harta debitur, baik yang telah dijaminan secara istimewa dan didahulukan kepada pihak lain (bank) ataupun tidak. Tetapi penetapan sita jaminan tersebut tidak merubah kedudukan kreditur tersebut terhadap benda yang disita jaminankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar